31 Jan 2008

Bukan Hanya Sekedar Masjid


"HANYA mereka yang memakmurkan (memberdayakan) masjid-masjid Allah, orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) kecuali kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan yang mendapat petunjuk". (At-Taubah : 18).

Masjid berarti tempat untuk bersujud. Secara terminologis diartikan sebagai tempat beribadah umat Islam, khususnya dalam menegakkan shalat. Masjid sering disebut Baitullah (rumah Allah), yaitu bangunan yang didirikan sebagai sarana mengabdi kepada Allah. Pada waktu hijrah dari Mekah ke Madinah ditemani shahabat beliau, Abu Bakar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati daerah Quba di sana beliau mendirikan Masjid pertama sejak masa kenabiannya, yaitu Masjid Quba (QS 9:108, At Taubah). Setelah di Madinah Rasulullah juga mendirikan Masjid, tempat umat Islam melaksanakan shalat berjama’ah dan melaksanakan aktivitas sosial lainnya. Pada perkembangannya disebut dengan Masjid Nabawi.

Fungsi Masjid paling utama adalah sebagai tempat melaksanakan ibadah shalat berjama’ah. Kalau kita perhatikan, shalat berjama’ah adalah merupakan salah satu ajaran Islam yang pokok, sunnah Nabi dalam pengertian muhaditsin, bukan fuqaha, yang bermakna perbuatan yang selalu dikerjakan beliau. Ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat berjama’ah merupakan perintah yang benar-benar ditekankan kepada kaum muslimin.

Akan tetapi apabila kita lihat dari sisi yang lebih luas berkenaan dengan makna masjid tersebut, adalah suatu refleksi ketundukan atau kepatuhan kepada Allah, jadi seluruh aktifitas yang ada pada lingkungan tempat ibadah tersebut (baca: masjid) pada dasarnya harus merupakan sebuah perwujudan atau refleksi ketaatan dan ketundukan kepada sang khalik yaitu Allah semata. Refleksi ketaatan dan ketundukan bukan berarti masjid hanya diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan ritual semata. Lebih dari itu, seluruh aktifitas yang ditimbulkan atau yang berada dalam masjid, baik dari sisi manajemen atau bentuk kegiatannya, harus merefleksikan ketaatan dan ketundukan kepada Allah sang khalik.

Atas hal tersebut, masjid selain sebagai tempat ibadah juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. masjid pada masa Rasul biasa digunakan sebagai tempat ibadah, pengaturan tata negara, mengatur siasat perang, pengembangan pendidikan,tempat pengobatan para korban perang, tempat mendamaikan dan menyelesaikan sengketa, tempat menerima utusan delegasi/tamu, sebagai pusat penerangan, dan pembelaan agama.Masjid juga merupakan tempat kegiatan ekonomi. Di masjid dibangun Baitul Maal, tempat menghimpun dana dari orang-orang kaya yang kemudian didistribusikan kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan uluran dana lainnya.

Menurut Dr Muchlis Bahar (2007) , ''Dari pembinaan yang dilakukan Rasulullah di masjid, lahirlah tokoh-tokoh yang berjasa dalam pengembangan Islam ke se-antero dunia, seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.''

Lebih jauh Dr. Muchlis Bahar menulis, luas dan hebatnya fungsi masjid khususnya pada zaman Rasulullah dan sesudahnya disebabkan beberapa faktor. Pertama, tingginya tingkat kesadaran masyarakat/kaum Muslimin untuk berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. Kedua, para pengurus/Pembina masjid mampu menghubungkan aktivitas masjid dengan kebutuhan masyarakat dan kondisi sosialnya. Ketiga, tercapainya kesamaan visi, misi dan hati antara pemerintah/pemimpin dan rakyatnya, antara pengurus masjid, ustadz/khatib dan jamaahnya, untuk membangun semua bidang kehidupan. '' Semua itu merupakan kunci sukses untuk menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan umat.

Contoh terbaik adalah apa yang di contohkan oleh Rasulullah Muhammad saw. Kebangkitan Islam berasal dari Masjid. Rasul menjadikan Masjid sebagai tempat Kegiatan Ritual, Spiritual dan membangun pemahaman Umat Islam terhadap Islam (Politik). Apakah mungkin membangkitkan umat Islam yang sedang terpuruk ini hanya dengan menjadikan masjid sebagai tempat ritual saja? Kalau anda berpandangan tidak.... Mari kita mulai makmurkan masjid di tempat terdekat kita. Bukan hanya sekedar menjadikannya sebagai masjid namun juga tempat mengkaji tsaqafah-tsaqafah keislaman (Aqidah, Fiqh, Kepribadian Islam, Sistem Pemerintahan Islam, Sistem Ekonomi Islam, Sistem Pergaulan dalam islam, Sistem Pendidikan Islam, dll).

Pertanyaannya, Siapa yang akan menghidupkan dan memakmurkan Masjid Anda?

Jawabannya, Bukan Orang lain .....Tetapi ANDA.

Selamat Berjuang!

* * *

(Ibnu Khaldun Aljabari, 30 Januari 2008)

27 Jan 2008

Islam Agama Spiritual dan Politik


Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)

Dalam ayat yang mulia di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh manusia adalah agama yang sempurna, mencakup seluruh perkara yang cocok diterapkan di setiap zaman, setiap tempat dan setiap umat. Islam adalah agama yang sarat dengan ilmu, kemudahan, keadilan dan kebaikan. Islam adalah pedoman hidup yang jelas, sempurna dan lurus untuk seluruh bidang kehidupan. Islam adalah agama dan negara (daulah), di dalamnya terdapat manhaj yang haq dalam bidang hukum, pengadilan, politik, kemasyarakatan dan perekonomian serta segala perkara yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan dunia mereka, dan dengan Islam nantinya mereka akan bahagia di kehidupan akhirat.

Setidaknya ada tiga konsep yang diatur oleh Islam. Pertama, mengatur segenap perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan penciptanya, hal ini tercermin dalam keimanan dan ibadah, spiritual dan ritualitas. Kedua, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Hal ini diwujudkan dalam perkara akhlak makanan dan pakaian. Ketiga, hubungan manusia dengan lingkungan sosial. Hal ini diwujudkan dengan muamalah dan ‘uqubat.

Dapat disimpulkan, Islam adalah agama spiritual sekaligus politik. Islam sebagai agama spiritual maksudnya Islam mengatur bagaimana cara berhubungan dengan tuhannya. Adapun Islam sebagai agama politik, sebagaimana dijelaskan oleh Hafidz Abdurrahman (2004) Sistem politik dalam pandangan Islam adalah hukum atau pandangan yang berkaitan dengan cara bagaimana urusan masyarakat dikelola dan diatur dengan hukum Islam.

Hal ini bisa dibuktikan secara historis, normatif dan empiris. Dengan melihat nas, dan fakta sejarah kejayaan yang pernah dicatat dalam lembaran sejarah kegemilangan Islam sejak pertama kali tegaknya di Madinah sebagai mabda’ hingga runtuhnya Khilafah Islam di Turki pada tanggal 3 Maret 1924, serta sisa-sisa penerapan Islam di negeri kaum muslimin, terbukti bahwa Islam merupakan agama politik dan spiritual.

Pertama, secara normatif, Islam sebagai ajaran politik dan spiritual terlihat dari adanya elemen yang dimiliki Islam berupa pemikiran (thought) dan metode (methode).

Elemen thought ini meliputi :
1. Aqidah Islam yaitu keimanan kepada kepada Allah, Rasul, Malaikat, Kitab, Kiamat , Qadla dan qadar; .
2. Pemecahan masalah kehidupan manusia, yang meliputi hukum syara’ yang berkaitan dengan seluruh masalah kehidupan manusia, baik dengan tuhannya, seperti ibadah, ataupun masalah manusia dengan sesamanya, seperti ekonomi, sosial, politik, pendidikan, sanksi hukum dan sebagainya, maupun masalah manusia dengan dirinya sendiri, seperti masalah makanan, pakaian dan akhlak. (Abdurrahman : 2004)

Adapun elemen methode ini meliputi bagaimana konsep ini diterapkan, dipertahankan dan dikembangkan, antara lain :
1. Metode menerapkan aqidah dan hukum syara’, yaitu melalui negara khilafah Islam dan partai politik Islam yang menegakkan Islam;
2. Metode mempertahankan aqidah dan hukum syara melalui institusi pengadilan (al qadha) dan penerapan sanksi hukum (uqubat) kepada para pelaku pelanggaran ‘aqidah dan hukum syara, yang dijalankan oleh khilafah Islam. Misalnya orang murtad dibunuh, orang yang membangkang (bughat) terhadap khilafah Islam akan diperangi, orang yang meninggalkan sholat akan dikenakan ta’zir, orang yang mencuri akan dipotong tangannya, pelaku zina akan dirajam sampai mati, atau dicambuk sampai seratus kali, orang yang membuka aurat di tempat umum akan dikenai ta’zir, orang yang melakukan praktek suap dikenakan ta’zir dan sebagainya.
3. Metode mengemban aqidah dan hukum syara’ yang dilakukan melalui da’wah yang diemban oleh individu,partai politik dan negara, serta jihad fii sabiilillah baik defensif maupun ofensif, yang dijalankan oleh khilafah Islam. Jihad ini dimaksud untuk menghancurkan dinding penghalang yang menghalangi masuknya cahaya Islam di wilayah yang diperangi. Dengan begitu, para penduduk wilayah tersebut akan dapat menyaksikan cahayanya dengan sempurna.

Jihad ini dilakukan dengan tiga fase :
1. Diseru untuk memeluk Islam, ketika bersedia menerima, mereka dibiarkan, dimana harta, darah dan kehormatan mereka dijaga oleh Islam;
2. Apabila tidak setuju, mereka diserukan agar tunduk kepada pemerintahan Islam dengan cara menerapkan semua hukum Islam yang menyangkut urusan sosial,ekonomi, politik, pendidikan, uqubat (sanksi) dan hukum-hukum lain, kecuali akidah, ibadah, makanan, pakaian, dan pernikahan (nikah dan cerai);
3. Apabila tidak setuju, mereka akan diperangi habis-habisan sampai tunduk kepada Islam.

Kedua, secara historis, banyak bukti bisa dilihat dalam catatan sejarah, sebagaimana yang dibukukan oleh ahli sejarah, baik dalam sirah maupun tarikh, seperti Sirah ibn Ishaq, Maghazi al Waqidi, Tabaqat ibn Sa’ad, Sirah ibnu Hisyam, Tarikh al-Umam wa al Mulk, Tarikh ibn Atsir, Tarikh ibnu Katsir dan sebagainya (Abdurrahman : 2004).

Semua buku-buku tersebut mengungkapkan bagaimana konsep Islam diterapkan dalam ranah spiritual dan politik. Hanya dalam sejarah sering kali tidak dipisahkan anatara penerapan syariat yang gemilang dengan penyimpangan penerapannya. Maka, satu-satunya bukti otentik penerapan syariat Islam dapat kita ketahui dari informasi kitab-kitab fiqh yang membahas tentang sumber hokum islam ini, mulai dari zaman Rasulullah hingga zaman ke Khilafahan islam terakhir di Turki. Kendatipun demikian, sejarah telah mencatat selama 1300 tahun lebih Islam telah diterapkan sebagai mabda yang memimpin dunia dengan cemerlang.

Ketiga, secara empiris, kenyataannya banyak bukti bisa kita saksikan hingga saat ini. Bagaimana Islam diterapkan sebagai agama spiritual dan politik. Gambaran yang rinci dijelaskan oleh Taqiyuddin An Nabhani yang dikutip oleh Hafidz Abdurrahman (2004) berkenaan dengan bukti empiris Islam sebagai agama dan politik. Pertama, konsep Islam direpresentasikan dalam lembaga pengadilan yang bertugas meyelesaikan permasalahan masyarakat. Dan tercatat, selama kekhalifahan islam tidak pernah ada suatu permasalahan yang muncul di masyarakat, kecuali selalu diselesaikan dengan hukum islam. Kedua, melalui institusi pemerintahan (al hakim) yang bertugas melaksanakan seluruh hukum Islam di tengah masyarakat. Mengenai bukti empiris penerapan syariat Islam dalam pemerintahan ini dapat kita temukan di buku-buku fiqih.

Istilah-istilah seperti Khalifah, Mu’awin tafwidh (wakil khalifah), Mu’awin tanfidz (Pembantu administrasi khalifah), Wullat wa al-Ummal (Penguasa wilayah dan daerah), al-jihaz al-idari (Biro administrasi umum), Amir al-Jihad (Panglima Perang), Majlis Umat dan Pengadilan, merupakan struktur pemerintahan yang menerapkan hukum Islam (An Nabhani : 1963). Inilah fakta dan bukti empiris yang telah membuktikan keutuhan Islam sebagai ajaran agama yang komprehensif baik menyangkut konsepsi politik maupun spiritualnya. Wallahu’alam.

* * *

(25 Januari 2008)

Referensi : Diskursus Islam Politik dan Spiritualitas, Hadisz Abdurrahman. Al Azhar Press.2004
[dimuat di percikaniman.org tgl 26 januari 2008]

Kepribadian


Syakhsiyyah dalam bahasa Arab berasal dari kata Syakhsun (bahasa inggris = personality) yang diartikan pribadi atau orang, sehingga bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai kepribadian.
Syakhsiyyah secara bahasa menurut Dr.Ibrahim Anis ( 1972) yaitu shifatun tumayyizu al syakhsha min ghairihi [/I]( sifat atau karakter yang membedakan satu orang dengan orang lainnya). Sehingga Syakhsiyyah dalam arti umum bisa diartikan sebagai jatidiri atau identitas seseorang yang membedakannya dengan orang lain (Yusanto : 2002)

Setiap orang pastinya mempunyai identitas personal seperti nama, tempat dan tanggal lahir, kebangsaan, ras, bentuk fisik, warna kulit, raut wajah, pekerjaan, kekayaan, hobbi , dan lain sebagainya. Apakah identitas personal tersebut menunjukkan hakekat identitas seseorang atau esensi pribadinya? Apakah benar Identitas personal tersebut bisa membedakan satu orang dengan orang lain dan menentukan tinggi rendahnya kualitas pribadi seseorang?

Misalnya, apakah seorang laki-laki berwajah ganteng seperti Tora Sudiro otomatis lebih mulia daripada orang yang berwajah ‘agraris’ seperti Aming? Juga, apakah seorang wanita molek seperti Dian Sastro begitu saja dianggap lebih bermutu syakhsiyyahnya daripada wanita seperti Tika “Projek P’ Panggabean?

Apakah orang kaya seperti Bakrie dengan sendirinya lebih berkualitas dibanding Kang Endin yang Jualan Batagor di pinggir jalan?
Identitas di atas bukanlah Indikator hakiki yang menentukan tinggi rendahnya derajat atau kualitas kepribadian seseorang. Penampilan fisik atau raut wajah maupun kekayaan merupakan ‘kulit’ ( gusyuur) belaka. Kekayaan, penampilan fisik dan raut muka adalah identitas fisikal dan genetik yang telah diberikan oleh Allah swt (bersifat qadla’iy atau taken for granted) yang memang tidak bisa diubah dan ditolak manusia.
Alangkah malang sekiranya orang yang berkulit hitam didudukkan sebagai orang yang lebih rendah status dan kedudukkannya dibandingkan dengan orang yang berkulit putih. Tidak masuk akal dan sungguh tidak adil kiranya.
Warna kulit, raut muka, bentuk tubuh bukan usaha manusia (shifatun muktasabah), melainkan sifat fisik (shifatun khalqiyyah) yang tidak dapat dipilih atau ditolak manusia, karena memang termasuk dalam qadha’ (keputusan) Allah (Yusanto : 2004)

Berbagai identitas esensial sering membuat keliru dalam menilai kualitas syakhsiyyah atau kepribadian seseorang. Karena itu Islam sejak awal memberi peringatan agar kita tidak menggunakan tolok ukur yang keliru dalam menilai kemuliaan manusia.
Apakah mereka mengira bahwa kami memberi harta dan anak-anak kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami segera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka?(tidak), tetapi mereka tidak menyadarinya. (Qs. Al Mu’minun : 55-56)

Dan bukanlah harta atau anak-anakmu yang mendekatkan kamu kepada kami; melainkan orang-oramng yang beriman dan mengerjakan kebaikan, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda atas apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi ( dalam surga).(Qs. Saba : 37)

Ayat ayat diatas menginformasikan bahwasanya manusia kadang melakukan penilaian terhadap suatu aktivitasnya dengan menggunakan tolok ukur kekayaan dan kualitas anak-anaknya. Namun, ternyata penilaian mereka itu salah. Harta dan anak-anak keturunan tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk mendekatkan diri pada Allah Swt bahkan berharap mendapatkan penilaian yang baik Di sisiNya. Untuk menilai kemuliaan diri seseorang, tolok ukur yang tepat adalah dengan melihat tingkah laku sehari-hari dalam berbagai interaksi di tengah masyarakatnya. Apakah dalam kesehariannya mencirikan dirinya sebagai orang yang beriman dengan beramal soleh ataukah sebaliknya.

Kiranya tolok ukur yang benar untuk menilai kepribadian seseorang bukanlah dilihat dari kekayaan, raut muka, Genetik maupun tampilan fisik lainnya. Penilaian yang tepat adalah dengan menggunakan tolok ukur dari Pencipta Manusia, yaitu Penilaian Allah yang mengatakan bahwa Syaksiyyah seseorang itu mulia atau mempunyai kualitas yang tinggi adalah dengan melihat tingkah laku kesehariannya. Apakah tingkah lakunya itu berupa amal soleh yang pastinya diselimuti oleh pancaran keimanan kepada Sang Ilahi ataukah sebaliknya Wallahu a’lam.
( 22 Januari 2008)

Update terus tsaqafah keislamanmu tentang Syakhsiyyah ini dengan membaca “Membangun Kepribadian Islam” Karya M.Ismail Yusanto, et.al. Khairul Bayan, 2002.

(dimuat di percikaniman.org tgl
24-01-2008)
Realitas Kaum Muslimin dan Agenda Utama Ummat



Perumpamaan orang-orang beriman dalam kecintaan, kasih-sayang dan ikatan emosional ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggotanya sakit, mengakibatkan seluruh anggota tidak dapat istirahat dan sakit panas.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Ummat Islam adalah laksana tubuh, sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah. Setiap tubuh mempunyai darah, yang menyebabkan seseorang menjadi sehat, apabila darah tersebut bersih dan baik. Apabila seseorang kekurangan darah, atau bahkan kehabisan darah, maka ia akan menjadi lemas, tidak dapat bangkit dan melakukan aktivitas kehidupannya secara normal. Kehidupannya kemudian menjadi beban bagi orang lain. Itulah sunatullah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada manusia.

Ummat Islam, Saat ini berada dalam keadaan yang memprihatinkan. Dimana-mana mereka ditimpa masalah. Mulai dari ummat Islam yang ada di Asia Tengah, seperti Chechnya, di Eropa seperti Albania, Bosnia Herzegovina, di Afrika seperti Sudan, di Asia Barat seperti Iraq, Afghanistan, Palestina, di Asia seperti Indonesia, Malaysia, Pattani, Filiphina, Bangladesh, Pakistan dan sebagainya. Semua ummat Islam, yang mempunyai jumlah terbesar di dunia berbanding dengan agama lain, ternyata tidak berdaya ketika menghadapi musuh yang kecil sekalipun, seperti Israel. Dimana-mana kaum muslimin mempunyai masalah. Di Indonesia, Iraq, Bangladesh dan Sudan, banyak ummat Islam kelaparan. Di Bosnia, Albania dan Chechnya, Maluku banyak orang Islam dibunuh dengan biadab oleh orang-orang kafir.

Belum lagi masalah dalam negeri yang dihadapi oleh masing-masing kaum muslimin di negeri mereka. Masalah kezaliman penguasa, riswah (suap), pencurian, perampokan, tersebarnya penyakit AIDS, dan sebagainya. Semuanya ini penyakit. Yang menambah ummat Islam yang telah sakit menjadi semakin parah sakitnya.

Pertanyaannya sekarang adalah, apa yang sebenarnya menjadi akar timbulnya penyakit-penyakit tersebut?
Bila kita mau merenungkan dalam-dalam realitas kaum muslimin saat ini, maka pastilah kita akan menemukan beberapa masalah tersebut. Tetapi kita mesti menyadari, bahwa masalah tersebut bukanlah masalah utama. Sebab, masalah utamanya adalah karena hukum Islam tidak diterapkan oleh ummat ini.

Pertanyaannya adalah, hukum Islam yang mana yang tidak diterapkan oleh ummat Islam saat ini? Jawabannya tentu semua hukum Islam. Mulai dari hukum ibadah, sosial, politik, ekonomi, peradilan, pemerintahan, pendidikan dan sebagainya. Semuanya mestilah dikembalikan kepada hukum Islam. Sebagai contoh, seandainya hukum potong tangan diterapkan, tentu orang yang mencuri akan takut mencuri lagi. Demikian orang yang akan mencuri, juga takut akan melakukan perbuatan terkutuk itu, apabila paham bahwa ia akan kehilangan tangannya, apabila mencuri. Dan akan menanggung malu di tengah masyarakat. Maka, kejahatan pencurian akan dapat ditekan.

Demikian juga seandainya hukum zina, homoseks (liwath), qazaf dan pembuktian (bayyinah) diterapkan mengikuti ketentuan Islam, maka penyakit AIDS tidak akan terjadi. Sebab, AIDS bermula dari kegiatan haram, melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan seks. Atau, boleh jadi karena hubungan sejenis (homoseks/liwath). Sebab, pelaku liwath dihukum mati, orang yang berzina dengan berganti-ganti pasangan seks juga demikian, maka maknanya asal mula penyakit atau sumber penyakit tersebut tidak akan pernah ada. Dan apabila sumber penyakitnya hilang, tentu penyakitnya tidak akan pernah ada. Ini sunatullah.

Tetapi, semuanya ini mustahil diterapkan, kalau hukum dilaksanakan tidak adil. Misalnya, karena yang melakukan kesalahan adalah pegawai tinggi negara dan sebagainya, kemudian hukuman tidak dilakukan. Atau juga mustahil dilakukan kalau sistem pengadilannya tidak dilaksanakan dengan hukum Islam. Yang memandang sama, semua orang di hadapan hukum. Tanpa dibeda-bedakan apakah pemimpin ataukah bukan pemimpin.

Demikian juga, semuanya ini tidak mungkin dilaksanakan, bila masyarakat mempunyai pemikiran dan perasaan yang salah terhadap Islam, karena sistem masyarakatnya rusak. Misalnya, dibiarkannya kebebasan bergaul antara laki-laki dan perempuan, wanita atau laki-laki keluar rumah tanpa menutup aurat, pusat-pusat pelacuran, hiburan malam, pertunjukan musik, pabrik-pabrik minuman keras dan sebagainya, yang semuanya akan mendorong terjadinya rangsangan seksual.
Jadi di sinilah yang menjadi asal mula terjadinya krisis di dunia Islam. Karena mereka tidak melaksanakan syari'at Islam secara total. Dan bila kita analisis satu per satu, negeri-negeri Islam tersebut, semuanya tidak ada yang berstatus sebagai Darul Islam. Dengan kata lain, semuanya adalah Darul Kufur. Yakni negeri yang tidak menerapkan hukum Islam secara total, dan keamanannya untuk mengurus masalah dalam negeri dan mempertahankan serangan dari luar, tidak di tangan kaum muslimin.

Dan secara umum, negeri-negeri tersebut menerapkan hukum Islam, tetapi hanya sebagian-sebagian saja. Disamping itu, rata-rata semuanya dikendalikan oleh negara-negara besar dunia seperti Amerika, Inggis dan sebagainya.
Inilah realitas kaum muslimin saat ini. Maka, jika kita simpulkan, dapat kita katakan, bahwa masalah utama ummat Islam saat ini adalah mengembalikan hukum Islam untuk diterapkan kembali secara total di negeri-negeri mereka. Atau dengan kata lain, mereka mestilah menjadikan Islam sebagai ideologi mereka untuk mereka terapkan dalam kehidupan mereka.Dimana ideologi Islam, bagi ummat Islam adalah laksana darah yang akan mengembalikan kehidupan mereka. Juga yang akan menyembuhkan mereka dari sakit yang mereka derita saat ini.

Cara Membangkitkan Ummat Islam
Peradaban Islam yang mulia saat ini sedang tergantikan oleh Peradaban Barat yang sekuler. Imbas dari diadopsi dan dipimpinnya dunia oleh Peradaban Barat saat ini telah jelas terlihat kerusakannya. Ternyata, keinginan manusia yang pluralistic tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan akal belaka. Akal merupakan bagian dari manusia. Manusia diciptakan oleh Allah swt. Oleh karena itu yang paling tepat adalah memberikan Hak Allah untuk mengatur makhluknya,manusia. Dan Islam Jelas mempunyai konsep tersebut.

Ummat Islam ini tidak akan bangkit dan terus menerus menderita penyakit, sehingga tidak dapat berperan kembali di dunia untuk mengendalikan kehidupan yang ada, adalah karena hilangnya pemikiran ideologis dalam diri mereka. Mereka telah kehilangan "darah" itu. Dan "darah" itulah yang saat ini mereka perlukan, sehingga mereka mampu bangkit kembali untuk memimpin dunia.
Sebab kekalahan ummat ini dengan ummat lain, bukan karena kekalahan di bidang teknologi. Jepang, bukankah kempuan teknologinya luar Biasa, tapi kenapa selalu berada dibawah ketika Amerika? Kita masih melihat, bagaimana Iraq yang merupakan sebuah negara merdeka yang menguasai teknologi tinggi, yakni nuklir dan senjata kimia lainnya, akhirnya dapat dihancurkan oleh negara-negara adikuasa, Amerika dan sekutu-sekutunya. Mengapa? Sebab mereka mau tunduk kepada hukum internasional, yang jelas hukum kufur. Hukum yang sengaja dibuat oleh orang kafir untuk menjajah dunia Islam. Disamping itu, Iraq juga sendirian, tatkala Amerika, Inggris, Prancis dan negara-negara kafir lain bersatu menghancurkannya.

So, mari kita terus meningkatkan pemahaman Islam kita. Dan mari kita berjuang untuk membangun kembali peradaban Islam di dunia ini.

* * *

[ dimuat di percikaniman.org tgl 22-01-2008 ]
Ingin lebih faham tentang Ideology Islam serta permasalahan Umat Islam saat ini serta solusinya? Silahkan baca buku “Islam Ideologi” Karya Ust. Ismail Yusanto, diterbitkan oleh AL Azhar Press. 2002. Kata Pengantar Bapak Amin Rais.

15 Jan 2008

Jalan Menuju Iman: Allah Tuhanku

“Kenapa Tuhanku Allah? bukan Sang Budha Gautama yang disembah oleh orang Budha, atau Yesus Kristus tuhannya orang Kristen, atau Sang Hyang Widi yang dijadikan Tuhan oleh para penganut Kepercayaan ataupun Causa Prima,/Sang Maha Mutlak tuhannya sebagian para cendikiawan dan sebagian para filosof, atau, kenapa pula aku tidak menjadi orang ateis yang mengingkari adanya tuhan?”


Sekiranya terbetik pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita berkenaan dengan perkara diatas, hal itu merupakan sesuatu yang wajar dikarenakan itu adalah perkara akidah. Pertanyaan di atas terkesan sederhana, namun apabila kita kaji dan telusuri litelatur yang bertebaran di muka bumi ini, akan kita temukan para filosof, kaum cerdik pandai hingga para ulama yang ternyata energinya tersedot untuk mencoba menjawab pertanyaan diatas.


Adakah Tuhan?

Untuk menjawab mengapa tuhan itu Allah SWT, kiranya perlu dibuktikan terlebih dahulu benarkah tuhan itu ada?

Bukti bahwa segala sesuatu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya, sesungguhnya dapat diterangkan sebagai berikut:

Bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal, terbagi dalam tiga unsur, yaitu; manusia, alam semesta dan hidup (nyawa/biotik). Ketiga unsur ini bersifat terbatas, lemah, serba kurang, serta saling membutuhkan antara satu dengan lainnya.

Misalnya manusia. Manusia terbatas sifatnya, karena ia tumbuh dan berkembang sampai pada batas tertentu yang tidak dapat dilampuinya lagi. Karena itu, jelaslah bahwa manusia bersifat terbatas.


Begitu pula halnya dengan hidup (nyawa/biotik). Juga bersifat terbatas. Sebab, penampakannya bersifat individual semata. Bahkan, apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa hidup ini berakhir pada satu individu itu saja. Dengan demikian, jelas bahwa hidup itu bersifat terbatas.


Alam semesta pun demikian, memiliki sifat terbatas. Sebab, alam semesta merupakan himpunan dari benda-benda angkasa, yang setiap bendanya memiliki keterbatasan. Sedangkan himpunan segala sesuatu yang terbatas, tentu terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semestapun bersifat terbatas. Kini jelaslah bagi kita bahwa manusia, hidup (nyawa/biotik) dan alam semesta, ketiganya bersifat terbatas.


Apabila kita melihat kepada segala sesuatu yang bersifat terbatas, bisa kita simpulkan bahwa ia tidak "azali"
, tidak berawal dan tidak ber­akhir. Sebab bila ia bersifat azali, tentu tidak mempunyai keterbatasan. Dengan demikian jelaslah bahwa segala hal yang terbatas pasti diciptakan oleh ''sesuatu yang lain''. ''Sesuatu yang lain'' inilah yang disebut Al Khaliq. Dialah yang menciptakan manusia, hidup dan alam semesta.

Siapakah Tuhan?

Manusia, hidup dan alam semesta bersifat terbatas. Sesuatu bersifat terbatas pastilah ada yang membuatnya. Sesuatu yang terbatas itu dinamakan dengan makhluk. Maka Manusia, hidup dan alam semesta adalah makhluk. Lalu siapakah yang menciptakan makhluk? Dia adalah sang Pencipta, Al Khalik.

Dalam menentukan keberadaan Pencipta ini akan kita dapati tiga kemungkinan.

Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain.

Kedua, Ia mencip­takan diriNya sendiri.

Ketiga, Ia bersifat azali-tidak berawal dan berakhir- dan wajibul wujud –wajib adanya.

Kemungkinan pertama bahwa Ia diciptakan oleh yang lain adalah kemungkinan yang bathil, tidak dapat diterima oleh akal. Sebab, bila benar demikian, tentulah Ia bersifat terbatas, ada yang menentukan awalnya.

Begitu pula dengan kemungkinan kedua, yang menyatakan bahwa Ia menciptakan diriNya sendiri. Sebab, bila demikian berarti Dia sebagai makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Suatu hal yang jelas-jelas tidak dapat diterima.

Yang tepat Al Khaliq ini haruslah bersifat azali dan wajibul wujud. Dan Islam menyebut Al Khalik ini dengan sebuah nama khusus yaitu Allah SWT.

Bukan Iman Yang Lemah


Sesungguhnya siapa saja yang mempunyai akal akan mampu membuktikan -

-hanya dengan adanya benda-benda yang dapat diinderanya-- bahwa di balik benda-benda itu pasti terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab, fakta menunjukkan bahwa semua benda itu bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan satu dengan lainnya. Hal ini menunjukkan segala sesuatu yang ada hanyalah makhluk . ( An Nabhani, Nidzamul Islam hal 4)

Oleh karena itu untuk membuktikan adanya Al Khaliq Yang Maha Penga­tur, sebenarnya cukup hanya dengan mengalihkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada di alam semesta, fenomena hidup (nyawa/biotik), dan diri manusia sendiri. Dengan mengamati salah satu planet yang ada di alam semesta, atau dengan merenungi fenomena hidup dan atau meneliti salah satu bagian dari diri manusia, tentulah akan kita dapati bukti nyata dan meyakinkan akan adanya Allah SWT.

Oleh karena itu dalam Al Qur`an, kita senantiasa menjumpai ajakan untuk mengalihkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada, seraya mengajaknya turut mengamati dan memfokuskan perhatian terhadap segala sesuatu yang ada di sekelilingnya atau yang berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab, dengan mengamati benda-benda tersebut, bagaimana satu dengan yang lainnya saling membutuhkan (dari segi keberadaan dan perkembangan kepada sesuatu), akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan dan pasti pada dirinya akan adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur. Dalam Al Qur`an telah dibeberkan ratusan ayat yang berkenaan dengan hal ini, antara lain firman-firman Allah SWT:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal" (QS Ali Imran: 190).

"(Dan) Di antara tanda-tanda kekuasaanNya adalah diciptakan­Nya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan warna kulitmu" (QS Ar Rum: 22).

"Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia dicipta­kan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagai­mana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?"

(QS Al Ghasyiyah: 17-20).

"Hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan? Dia diciptakan dari air memancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dengan tulang dada perempuan" (QS At Thariq: 5-7).

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Silih berganti­nya malam dan siang. Berlayarnya bahtera di laut yang membawa apa yang berguna bagi manusia. Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering). Dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan. Dan pengisaran air dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sesungguhnya (semua itu) terdapat tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan" (QS Al Baqarah: 164).

Banyak lagi ayat serupa lainnya, yang mengajak manusia untuk memperhatikan benda-benda alam dengan seksama, atau melihat apa yang ada di sekelilingnya, maupun yang berhubungan dengan keberadaan diri­nya. Ajakan itu adalah untuk dijadikan petunjuk akan adanya Pencipta yang Maha Pengatur, sehingga dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar pada akal dan bukti yang nyata.

Memang benar, bahwa iman kepada adanya Pencipta Yang Maha Pengatur ini merupakan hal yang fithri pada setiap manusia. Tapi ke­banyakan iman yang fithri ini muncul dari perasaan yang berasal dari hati nurani belaka. Cara seperti ini bila dibiarkan begitu saja, tanpa dikaitkan dengan akal, sangatlah riskan akibatnya serta tidak dapat dipertahankan lama. Dalam kenyataannya, perasaan tersebut sering menambah-nambah apa yang diimani, dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Bahkan ada yang mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang dianggap lumrah terhadap apa yang ia imani. Tanpa sadar, cara tersebut justru menjerumus­kannya ke arah kekufuran dan kesesatan.

Penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong) dan ajaran keba­thinan, tidak lain merupakan akibat salahnya reaksi dari perasaan hati ini. Oleh karena itu, Islam tidak membiarkan perasaan hati sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak menambah sifat-sifat Allah SWT dengan sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan; atau memberinya kesempatan untuk mengkhayalkan penjelmaanNya dalam bentuk materi; atau beranggapan bahwa untuk mendekatkan diri kepadaNya dapat ditempuh melalui penyembahan benda-benda, sehingga menjurus ke arah kekufuran, syirik, khurafat dan imajina­si yang keliru yang senantiasa ditolak oleh iman yang lurus.

Oleh karena itu Islam menegaskan agar senantiasa menggunakan akal disamping adanya perasaan hati. Islam mewajibkan atas setiap ummatnya untuk menggunakan akal dalam beriman kepada Allah SWT, serta melarang bertaqlid dalam masalah aqidah. Untuk itulah Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal" (QS Ali Imran 190).

Dengan demikian setiap muslim wajib menjadikan imannya betul-betul muncul dari proses berfikir, selalu meneliti dan memperhatikan serta senantiasa bertahkim (merujuk) kepada akalnya secara mutlaq dalam beri­man kepada Allah SWT.

"Ajakan untuk memperhatikan alam semesta dengan seksama, dalam rangka mencari sunatullah serta guna memperoleh petunjuk untuk beriman terhadap Penciptanya, telah disebut ratusan kali oleh Al Qur`an dalam berbagai surat yang berbeda. Semuanya ditujukan kepada potensi akal manusia untuk diajak berfikir dan merenung, sehingga imannya betul-betul muncul dari akal dan bukti yang nyata. Disamping untuk memperingatkannya agar tidak mengambil jalan yang telah ditempuh oleh nenek moyangnya, tanpa meneliti dan menguji kembali sejauh mana kebenarannya.

Inilah iman yang diserukan oleh Islam. Iman semacam ini bukanlah seperti yang dikatakan orang sebagai imannya orang-orang lemah, melainkan iman yang berlandaskan pemikiran yang cemerlang dan meyakinkan, yang senantiasa mengamati (alam sekitarnya), berpikir dan berpikir, kemudian lewat pengamatan dan perenungan­nya akan sampai kepada keyakinan tentang adanya Allah Yang Mahakuasa.

* * *

(Ibn khaldun; herynet@gmail.com)


Untuk lebih memperkaya pengetahuanmu tentang “Allah Tuhanku” silahkan baca :

  1. Peraturan Hidup Dalam Islam karya Syaikh Takiyudin An Nabhani
  2. Kitab At Tauhid, karya Ust Aceng Zakariya
  3. Dinamika Aqidah Islam karya Abdurrahman Al Baghdad
  4. Islam sebagai Aqidah dan Syariat" karya Mahmud Syalthout

11 Jan 2008

Aktualisasi Hijrah

Seperti rutinitas, pada bulan Muharram 1429 Hijriyah ini kaum muslimin memperingati hijrahnya Rasululah saw. Beraneka ragam kegiatan digelar, ada kegiatan muhasabah, mabit, karnaval, , festival seni, seminar, zikir akbar serta beraneka kegiatan lainnya yang bernuansa islami tentunya. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menumbuhkan kecintaan kepada kalender islam, serta untuk menyegarkan kembali pemahaman kaum muslimin terhadap peristiwa besar, yakni hijrahnya Rasulullah saw dan para sahabat dari Makkah ke Madinah

Makna Hijrah

Secara bahasa, hijrah artinya berpindah tempat. Adapun secara syar’i, para fuqaha mendefinisikan hijrah sebagai keluar dari darul kufr menuju darul islam. ( An Nabhani, Asy-Syakhsiyyah Islamiah,II/276; Al Jurjani, At Ta’rifat,I/83).

Darul Islam dalam definisi ini adalah wilayah (Negara) yang menerapkan syariat islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya berada ditangan kaum muslim. Sebaliknya, Darul kufur adalah wilayah (Negara) yang tidak menerapkan syariat islam dan keamanannya bukan di tangan kaum muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama islam. Definisi hijrah ini diambil dari fakta Hijrah Nabi saw dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah ( yang kemudian menjadi darul Islam).

Peristiwa Hijrah setidaknya memberikan makna sebagai berikut. Pertama, Pemisah antara kebenaran dan kebatilan; antara Islam dengan kekufuran; serta antara darul islam dengan darul kufur. Paling tidak, demikianlah menurut Umar bin Khatab ketika beliau menyatakan “ Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan”.( HR. Ibn Hajar).

Kedua, tonggak berdirinya Daulah islamiah (Negara islam) untuk pertama kalinya. Dalam hal ini para ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa madinah setelahg hijrah nabi saw telah berubah dari sekedar kota menjadi sebuah Negara islam; bahkan dengan struktur yang- menurut cendikiawan Barat, Robert N Bellah- terlalu modern untuk ukuran zamannya. Saat itu, Muhammad saw sendiri yang menjabat sebagai kepala negaranya.

Ketiga, awal kebangkitan Islam dan kaum muslim yang pertama kalinya, setelah 13 tahun sejak kelahirannya, Islam dan kaum muslimin terus dikucilkan dan ditindas secara zalim oleh orang-orang kafir makkah. Setelah Hijrahnya ketertindasan dan kemalangan umat islam berakhir. Setelah Hijrah pula Islam bangkit dan berkembang pesat hinga menyebar ke seluruh jazirah Arab serta mampu menembus berbagai pelosok dunia. Tidak hanya di Jazirah Arab dan seluruh timur tengah, bahkan mampu menembus ke jantung Eropa.

Masa Jahiliyah

Kita harus juga mengakui, meskipun berbagai peringatan telah banyak dilakukan, belum terdapat perubahan yang signifikan dari masyarakat kita. Bisa disebut kehidupan umat islam masih dalam keadaan mundur. Bahkan ada kecenderungan kita kembali ke masa jahiliyah

Dalam berekonomi, pada jaman jahiliyah terdapat riba, kecurangan, upaya menghalalkan segala cara dan penumpukan kekayaan pada elit-elit terkemuka masyarakat, kenyataannya terjadi pada umat islam sekarang ini. Bayangkan, pada saat ekonomi masyarakat semakin sulit harga-harga mahal, kemiskinan dan pengangguran bertambah, seorang menteri malah-malah melonjak kekayaannya. Indonesia negeri muslim yang kaya, sementara rakyatnya hidup menderita.

Di bidang sosial-budaya, kondisi saat ini hampir mirip bahkan lebih tragis daripada jaman jahiliyah. Di masa jahiliyah pelacuran dan perzinahan merajalela, bahkan dianggap budaya. Rumah-rumah pelacur diberi tanda khusus. Kondisi yang sama terjadi saat ini. Pelacuran dan perzinahan bisa ditemukan dengan gampang, bahkan dilindungi dengan cara dilokalisasi. Kemaksiatan dilegalisasi dengan alasan meraih keuntungan pajak, yang juga tidak jelas penggunaannya.

Kalau di masa jahiliyah yang di bunuh anak-anak perempuan yang sudah lahir, pada jaman sekarang anak lelaki pun telah dibunuh, bahkan masih di dalam kandungan dengan cara aborsi.

Dalam politik tidak jauh beda kondisinya dengan jaman jahiliah dulu. Kedaulatan membuat hukum pada masa jahiliyah berada pada pemuka-pemuka masyarakat atau elit politik. Hukum dtentukan. Oleh mereka berdasarkan hawa nafsu. Tidak jauh beda dengan sekarang, manusia menjadi sumber hukum atas nama kedaulatan rakyat. Padahal realitasnya, yang membuat keputusan bukanlah rakyat, tetapi elit politik yang mengatasnamakan rakyat. Tidak aneh jika keputusan yang diambil oleh para elit politik di parlemen justru bertentangan dengan kepentingan rakyat. Esensinya sama, menempatkan manusia, tepatnya hawa nafsu manusia, sebagai sumber hukum.

Aktualisasi Hijrah Saat ini

Muslim sejati adalah orang yang selalu peduli terhadap kesempurnaan peribadahannya kepada Allah swt. Jika ia menyadari bahwa pekerjaan dan muamalahnya bertentangan dengan syariah Islam, atau akan menjerumuskan kepada kenistaan, maka ia akan segera meninggalkan semua itu, dan berpindah menuju ke pekerjaan muamalah islami. Begitu pula jika ia hidup di sebuah negeri yang menerapkan aturan-aturan kufur, maka dengan sekuat tenaga ia akan menjaga agamanya dari segala bentuk kekufuran dan kemaksiatan. Tidak hanya itu, ia juga akan berusaha sekuat tenaga untuk mengubah aturan-aturan kufur tersebut, dan menggantinya dengan aturan-aturan islam, agar ia bias menjalankan semua perintah Allah tanpa ada halangan lagi. Dengan kata lain, ia akan selalu memikirkan berbagai upaya dan cara agar keadaan masyarakat yang kufur itu berubah (berpindah) menuju masyarakat islami. Ia tidak hanya menunggu-nunggu tegaknya Daulah Islamiah di negeri lain sehingga ia bisa hijrah ke sana. Namun, ia berupaya keras menegakkan kekuasaan islam di negerinya dan turut serta berjuang bersama kaum muslimin yang lain untuk mewujudkan kembali tatanan masyarakat dan Negara yang diatur dengan syariah islam.

Atas dasar itu, aktualisasi hijrah dalam konteks sekarang harus dimaknai dengan perjuangan untuk melanjutkan kembali kehidupan islam dalam ranah individu, masyarakat dan negara. Selamat Berjuang!!!

[Daarul Fiqr, 2 Muharram 1429 H ]

Ibn Khaldun,

=============================================================

Update Tsaqafah Islam-mu tentang “Hijrah” dengan membaca :

“Muqaddimah Ibn Khaldun”. Penulis Ibnu Khaldun. Penerbit Pustaka Firdaus, cet.Ke-6.Tahun 2006 dan Majalah Al-Wa’ie, No 89, “ Aktualisasi Hijrah” Januari 2008.

5 Jan 2008

Muhammad Bin Abdul Wahhab


Lintasan sejarah mencatat, ketika kaum muslimin terlena oleh kehidupan dunia, ajaran-ajaran islam sudah mulai ditinggalkan, maraknya tahayul Bid’ah dan khurafat yang dilakukan oleh kaum muslimin di Jazirah Arab, lahirlah di sana tokoh pembaharuan Islam pertama dan utama di jamannya yaitu Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab. Siapakah Beliaudan Bagaimana pembaharuan yang beliu lakukan? Di kesempatan kali ini, secara ringkas akan penulis coba uraikan.

1. Nasab dan pertumbuhan beliau
Beliau adalah Asy-Syaikh Al-Imam Al-Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barra bin Musyrif At-Tamimi.
Kelahiran Beliau
Beliau dilahirkan pada tahun 1115 H atau 1701 M, di kota ‘Uyainah yang masih masuk wilayah Najd, sebelah barat dari kota Riyadh, Ibukota Arab Saudi Sekarang, jaraknya dengan kota Riyadh sekitar perjalanan 70 km.
Pertumbuhan Beliau
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama. Beliau diajar langsung oleh ayahnya, Syeikh Abdul Wahhab tentang fikih mazhab Hambali, tafsir, hadits, aqidah dan beberapa bidang ilmu syar’i serta bahasa. Beliau seorang yang jenius dan cepat memahami. Di bawah asuhan bapaknya sendiri beliau belajar Beliau sangat menaruh perhatian besar terhadap kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim rahimahumallah, sehingga beliau terpengaruh oleh keduanya dan berjalan di atas jalan mereka dalam mementingkan masalah aqidah yang benar, mendakwahkannya, membelanya dan memperingatkan dari perbuatan menyekutukan Allah, bid’ah serta khurafat. Berkat bimbingan kedua orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum ia berusia sepuluh tahun. Setelah itu, beliau diserahkan oleh orangtuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar ke luar daerah

2. Perjalanan beliau dalam menuntut ilmu
Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima - mengerjakan haji di Baitullah. Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama disana. Di Madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.
Lantas beliau rihlah ke Bashrah dan beliau mendengarkan hadits, fikih dan membacakan nahwu kepada gurunya sampai menguasainya. Kemudian beliau rihlah ke daerah Ahsa’ dan bertemu dengan syaikh-syaikh Ahsa’, di antaranya Abdullah bin Abdul Lathif seorang hakim.

3. Kiprah Beliau dalam Menyerukan Tauhid
Melihat keadaan umat islam yang menurutnya sudah melanggar akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Informasi lengkap tentang Kiprah beliau bisa kita temukan dalam buku Syarah Aqidah Muhammad bin Abdul Wahhab, namun sedikit informasi tentang kiprah beliau dalam menyerukan tauhid ini bisa kita temukan pula di id.wikipedia.org dan wiramandiri.wordpress.com.
Lebih Lengkapnya, marilah kita simak paparannya sebagai berikut :
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.
Pimpinan ‘Uyainah pun menyambut beliau, membantunya, mendukungnya dan bersama dengan beliau menghancurkan kubah Zaid bin Al-Khatthab dan menghancurkan beberapa kubah serta kubur yang dibangun, bahkan bersama beliau merajam seorang wanita yang datang mengaku telah berzina padahal dia muhshan (telah pernah menikah- ed).
Ketika beliau menghancurkan kubah dan melakukan rajam dalam masalah zina, maka menjadi masyhurlah perkara beliau dan tersiarlah reputasi baik beliau. Masyarakat pun mendengar tentang beliau, dan berdatangan dari berbagai daerah sekitarnya membantu beliau sehingga semakin besarlah kekuatan beliau.
Kemudian, sampailah berita perbuatan Asy-Syaikh menghancurkan kubah dan kubur serta penegakan hukum had kepada pemerintah Ahsa’ dan sekutu-sekutunya. Hal ini membuat pemerintah Ahsa’ merasa khawatir terhadap kerajaannya dan memerintahkan kepada Utsman bin Ma’mar untuk membunuh Asy-Syaikh atau mengusirnya dari ‘Uyainah. Jika tidak dilakukan, maka akan diputus upeti darinya. Maka Utsman bin Ma’mar akhirnya menerima desakan ini dan memerintahkan Asy-Syaikh agar keluar dari ‘Uyainah dan beliaupun keluar darinya menuju Dir’iyyah. Hal itu terjadi pada tahun 1158 H.
Di Dir’iyyah beliau singgah sebagai tamu Muhammad bin Suwailim Al-‘Uraini, lantas pemimpin Dir’iyyah Muhammad bin Su’ud mengetahui akan kedatangan Asy-Syaikh. Dan disebutkan bahwa yang memberitahukan kedatangan Asy-Syaikh adalah isteri Ibn Su’ud sendiri.
Beberapa orang shalih mendatangi wanita tersebut dan berkata kepadanya,
“Beritahukan kepada Muhammad (Ibn Su’ud –ed) tentang orang ini! Semangatilah dia untuk mau membelanya dan beri motivasi kepadanya agar mau mendukung serta membantunya.”
Istri Muhammad adalah seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa. Ketika sang amir Muhammad bin Su’ud pemimpin Dir’iyyah dan sekitarnya masuk menemui istrinya, istrinya pun berkata kepadanya,
“Bergembiralah dengan ghanimah (anugerah) yang besar ini. Ini adalah ghanimah yang Allah kirimkan kepadamu, seorang lelaki yang menyeru kepada agama Allah, menyeru kepada Kitabullah, menyeru kepada sunnah Sungguh betapa ghanimah yang begitu besar. BersegeralahRasulullah menerimanya, bersegeralah menolongnya, dan jangan kamu berhenti saja dalam hal itu selamanya.”
Sang amir pun menerima saran istrinya dan sungguh bagus apa yang dilakukannya rahimahullah. Amir pergi ke kediaman Muhammad bin Suwailim Al-‘Uraini dan berkata kepada Asy-Syaikh,
“Bergembiralah dengan pertolongan dan bergembiralah dengan keamanan.”
Maka Asy-Syaikh berkata kepadanya,
“Dan Anda juga bergembiralah dengan pertolongan, bergembiralah dengan kekokohan dan kesudahan yang terpuji. Ini adalah agama Allah, siapa yang menolongnya niscaya Allah akan menolongnya. Siapa yang mendukungnya niscaya Allah akan mendukungnya.”
Kemudian amir berkata kepada Asy-Syaikh,
“Aku akan membaiatmu di atas agama Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah. Akan tetapi aku khawatir jika kami telah mendukungmu dan membantumu lantas Allah memenangkanmu atas musuh-musuh Islam lantas engkau menginginkan selain bumi kami dan berpindah dari kami ke tempat lain.”
Maka Asy-Syaikh menanggapinya,
“Bentangkan tanganmu, aku akan membaiatmu bahwa darah dibalas dengan darah, kehancuran dengan kehancuran dan aku membaiatmu untuk tetap tinggal bersama kalian dan aku tidak akan keluar dari negerimu selamanya.”
Demikianlah, Asy-Syaikh tinggal di Dir’iyyah dalam keadaan dihormati dan didukung sepenuhnya, menyeru kepada tauhid dan memperingatkan dari syirik. Orang-orang pun berdatangan, baik secara berkelompok maupun individu. Beliau mengajarkan aqidah, Al-Qur’an Al-Karim, tafsir, fikih, hadits, musthalah hadits, berbagai ilmu bahasa Arab dan tarikh.
Beliau biasa berkirim surat dengan para ulama dan umara dari berbagai negeri dan penjuru, menyeru mereka kepada agama Allah sehingga tersebarlah dakwah beliau. Setelah itu semakin banyaklah kedengkian, mereka lantas berhimpun dan bersatu menentang beliau. Maka amir mengobarkan jihad dengan pedang dan tombak, dan peristiwa itu terjadi pada tahun 1158 H.
Demikianlah perjalanan beliau dalam menda’wahkan tauhid kepada umat islam sehingga banyak umat islam yang terselamatkan dan tercerahkan dalam beragama sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah hingga saat ini dan yang akan dating.

4. Guru-guru beliau
Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab selama hidupnya telah berguru kepada para ulama yang mumpuni dalam bidangnya, yaitu :
1. Ayah beliau sendiri Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman
2. Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif, yaitu ayah Asy-Syaikh Ibrahim bin Abdullah pengarang kitab Al-‘Adzbu Al-Faidh fi ‘Ilmil Faraidh.
3. Asy-Syaikh Muhammad Hayah bin Ibrahim As-Sindi
4. Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i Al-Bashri
5. Asy-Syaikh Musnid Abdullah bin Salim Al-Bashri
6. Asy-Syaikh Abdul Lathif Al-Afaliqi Al-Ahsa’i

5. Murid-murid beliau
Asy Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab telah berhasil mendidik para muridnya untuk melanjutkan da’wahnya. Diantara Sekian banyak muridnya, yaitu :
a. Al-Imam Abdul Aziz bin Su’ud
b. Al-Amir Su’ud bin Abdul Aziz bin Sulaiman
c. Putra-putra beliau sendiri, Asy-Syaikh Husain, Asy-Syaikh Ali, Asy-Syaikh Abdullah dan Asy-Syaikh Ibrahim.
d. Cucu beliau Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan, penulis kitab Fathul Majid
e. Asy-Syaikh Muhammad bin Nashir bin Ma’mar
f. Asy-Syaikh Abdullah Al-Hushain
g. Asy-Syaikh Husain bin Ghannam

6. Karya-karya beliau
Selain pandai dalam menda’wahkan islam secara lisan, beliau pun dikenal sebagai ulama yang pandai akan menulis. Berikut sebagaian karya tulis beliau yang tersebar di masyarakat dan menjadi referensi umat dalam mengkaji ajaran islam :
a. Kitabut Tauhid
b. Ushulul Iman
c. Kasyfusy Syubhat
d. Tsalatsatul Ushul
e. Mufidul Mustafid fi Kufri Tarikit Tauhid
f. Mukhtashar Fathul Bari
g. Mukhtashar Zadul Ma’ad
h. Masa’il Jahiliyyah
i. Fadhailush Shalah
j. Kitabul Istimbath
k. Risalah Ar-Radd ‘ala Ar-Rafidhah
l. Majmu’atul Hadits, dll.

7. Wafat beliau
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan pada Kerajaan Saudi Arabia. Pada hari Jum’at di akhir bulan Dzulqa’dah tepatnya tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun beliau kembali ke Rahmatullah. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd), Arab Saudi.
Hanya kepada Allah kami memohon untuk menyingkap segala kesusahan
Dan tiada tempat memohon selain kepada Allah Al-Muhaimin
Telah tenggelam mataharinya pengetahuan dan petunjuk
Sehingga mengalirlah darah di pipi dan bercucuranlah air mataku
Seorang imam yang manusia tertimpa musibah dengan kehilangannya
Dan terus mengelilingi mereka berbagai musibah menyakitkan dengan perpisahannya
Menjadi kelam segala penjuru negeri sebab kematiannya
Dan menimpa mereka kesulitan mengerikan yang menyedihkan
Sebuah bintang yang jatuh dari ufuk dan langitnya
Sebuah bintang yang terkubur di tanah berlembah sunyi
Bintang keberuntungan yang bersinar cahayanya
Dan bulan purnama yang mempunyai tempat terbit di tempat sebelah kanan
Dan waktu subuh yang sinarnya menerangi manusia
Sehingga kelamnya kegelapan setelah itu menjadi lenyap
(Qasidah Asy-Syaikh Husain bin Ghannam dalam buku “Ar-Radd ‘alal Rafidhah”)


herynet@gmail.com
Ketahui lebih dekat tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan membaca buku/kitab “Syarah Aqidah Muhammad bin Abdul Wahhab” Penulis : Syaikh Zaid bin Muhammad al Madkhaly Penerbit : Pustaka Ar Royyan.2007

1 Jan 2008

Makna Agama

Manusia oleh Allah SWT dilahirkan dengan insting atau naluri untuk beribadah; mensucikan kepada ‘sesuatu’. Baik itu manusia yang terlahir di zaman Nabi Adam, zaman pertengahan maupun yang terlahir di akhir zaman kelak. Apakah ia orang Timur maupun Barat,berjenis laki-laki atau perempuan, orang kaya atau miskin, sudah tua maupun masih muda, pastilah ada keinginan untuk mentasbihkan ‘sesuatu’. Insting atau naluri untuk beribadah atau mensucikan dirinya atau merendahkan diri kepada ‘sesuatu’ itu Dienamakan dengan gharizatun tadayun. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘sesuatu’ itu adalah pencipta manusia, tuhan.

Representasi dari adanya gharizatun tadayun dalam diri setiap manusia ini, manusia selanjutnya akan beragama, meskipun tidak setiap manusia memeluk suatu agama. Adanya orang memeluk agama Hindu, Budha, Kristen, Islam serta aliran-aliran kepercayaan merupakan bukti dari adanya gharizatun tadayun pada diri manusia ini. Begitupun dengan Ateis yang menolak untuk memeluk suatu agama, mereka beragama dengan mendudukan akal sebagai tuhannya.

Agama, Religi dan Dien

Agama, Religi atau Dien (Pada umumnya) adalah satu sistema credo ( tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia kepada yang dianggapnya Yang Mutlak itu, serta sistema norma (tata-kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan tersebut.(Wawasan islam, hal 11)

Agama, Religi dan Dien masing-masing mempunyai arti etimologis sendiri-sendiri, masing-masing mempunyai riwayat dan sejarahnya sendiri-sendiri. Akan tetapi dalam arti teknis terminologis ketiga istilah itu mempunyai inti makna yang sama.

Dalam Al Qur’an Surat Al Kaafirun ayat 6 Allah swt berfirman :

“Lakum Dienukum waliya-Dieni”, “Bagi kamu Dien kamu dan bagiku Dien Ku

Ayat di atas menginformasikan bahwa selain ada Dien al-islam, di zaman nabi pun ada Dien yang lain. Di ayat lain kita juga bisa menemukan Dien ini bisa juga disetarakan dengan agama, yaitu dalam Al Qur’an Surat as-Shaf ayat 9 :

Huwa ‘ladzi arsala Rasulahu bil Huda wa Dienil Haq liyudhirahu ‘ala Dieni kulihi wa lau kariha Musyrikun, . “Dialah yang telah mengutus Rasulnya dengan membawa al Huda (Hidayah) dan Dien al Haqq (Dien Kebenaran), buat mengunggulkannya atas Dien-Dien semuanya, walau kaum musyrikin membencinya.”

Kita juga bisa melihat bahwa agama itu sama dengan Religi serta Dien dari istilah-istilah yang sering kita gunakan seperti PerbanDiengan agama (bahasa Indonesia) = comparison of religions (bahasa inggris) = muqaranatu ‘l-Adyan (bahasa arab; Adyan adalah bentuk jamak daripada Dien).

Berdasarkan pemaparan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Agama adalah ekuivalen (muradif) dengan Dien, serta yang disebut Dien bukan hanya Islam,tetapi juga selain daripada Islam.

Orang yang berpendapat bahwa Dien itu lebih luas daripada Agama, apabila menilik pemaparan di atas tampaknya kurang tepat, baik ditinjau dari segi ilmiah,maupun ditilik dari segi Dieniyah. Yang paling tepat ialah Agama (Dien) Islam itu jauh lebih luas daripada Agama (Dien) lainnya.

Agama Thabii dan Agama Samawi

Dien atau Agama pada garis besarnya dapat dibeda-bedakan atas dua bagian besar :

  1. Agama Thabii (Agama Bumi,Agama Filsafat, Agama Budaya, Natural Religion, Dienu’t Thabii,Dienu l’-Ardhi);
  2. Agama Samawi (Agama Langit,Agama wahyu,Agama Profetis, Revealed Religion, Dienu’s-Samawi)

Islam adalah satu-satunya Agama Samawi, Agama sepanjang zaman, Agama semua Nabi-nabi; Adam,Nuh, Ibrahim, Musa, Zakariya, Yahya dan Isa as serta Nabi Muhammad saw. ( Qs. 2:130; 3:52; 4:163-165, 170; 5 :12, 44-47, 68-70; 10 : 84; 12: 101; 61:5,6).

Menurut Al Qur’an, Agama Yahudi dan Agama Nasrani (Seperti yang kita saksikan keduanya saat ini) kedua-duanya bukan lagi agama murni Samawi, karena yang satu merupakan penyimpangan dari agama Asli Nabi Musa as dan yang lainnya merupakan penyimpangan dari agama Asli Nabi Isa as.

Apakah mereka mencari agama lain selain Agama Allah? Padahal segala apa yang di langit dan di bumi berislam (menyerahkan diri) kepada-Nya, baik dengan sukarela maupun dengan terpaksa. Dan kepada Allahlah semua mereka kembalikan.

(QS.Ali Imran : 83)

* * *

Oleh : Hery Haldun [herynet@gmail.com]

Referensi : Parasit Aqidah, A.D.El Marzdedeq, Diterbitkan oleh YAYASAN IBNU RUMAN, Bandung : Tanpa tahun./ Asy-Syamil :2004.