15 Jan 2008

Jalan Menuju Iman: Allah Tuhanku

“Kenapa Tuhanku Allah? bukan Sang Budha Gautama yang disembah oleh orang Budha, atau Yesus Kristus tuhannya orang Kristen, atau Sang Hyang Widi yang dijadikan Tuhan oleh para penganut Kepercayaan ataupun Causa Prima,/Sang Maha Mutlak tuhannya sebagian para cendikiawan dan sebagian para filosof, atau, kenapa pula aku tidak menjadi orang ateis yang mengingkari adanya tuhan?”


Sekiranya terbetik pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita berkenaan dengan perkara diatas, hal itu merupakan sesuatu yang wajar dikarenakan itu adalah perkara akidah. Pertanyaan di atas terkesan sederhana, namun apabila kita kaji dan telusuri litelatur yang bertebaran di muka bumi ini, akan kita temukan para filosof, kaum cerdik pandai hingga para ulama yang ternyata energinya tersedot untuk mencoba menjawab pertanyaan diatas.


Adakah Tuhan?

Untuk menjawab mengapa tuhan itu Allah SWT, kiranya perlu dibuktikan terlebih dahulu benarkah tuhan itu ada?

Bukti bahwa segala sesuatu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya, sesungguhnya dapat diterangkan sebagai berikut:

Bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal, terbagi dalam tiga unsur, yaitu; manusia, alam semesta dan hidup (nyawa/biotik). Ketiga unsur ini bersifat terbatas, lemah, serba kurang, serta saling membutuhkan antara satu dengan lainnya.

Misalnya manusia. Manusia terbatas sifatnya, karena ia tumbuh dan berkembang sampai pada batas tertentu yang tidak dapat dilampuinya lagi. Karena itu, jelaslah bahwa manusia bersifat terbatas.


Begitu pula halnya dengan hidup (nyawa/biotik). Juga bersifat terbatas. Sebab, penampakannya bersifat individual semata. Bahkan, apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa hidup ini berakhir pada satu individu itu saja. Dengan demikian, jelas bahwa hidup itu bersifat terbatas.


Alam semesta pun demikian, memiliki sifat terbatas. Sebab, alam semesta merupakan himpunan dari benda-benda angkasa, yang setiap bendanya memiliki keterbatasan. Sedangkan himpunan segala sesuatu yang terbatas, tentu terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semestapun bersifat terbatas. Kini jelaslah bagi kita bahwa manusia, hidup (nyawa/biotik) dan alam semesta, ketiganya bersifat terbatas.


Apabila kita melihat kepada segala sesuatu yang bersifat terbatas, bisa kita simpulkan bahwa ia tidak "azali"
, tidak berawal dan tidak ber­akhir. Sebab bila ia bersifat azali, tentu tidak mempunyai keterbatasan. Dengan demikian jelaslah bahwa segala hal yang terbatas pasti diciptakan oleh ''sesuatu yang lain''. ''Sesuatu yang lain'' inilah yang disebut Al Khaliq. Dialah yang menciptakan manusia, hidup dan alam semesta.

Siapakah Tuhan?

Manusia, hidup dan alam semesta bersifat terbatas. Sesuatu bersifat terbatas pastilah ada yang membuatnya. Sesuatu yang terbatas itu dinamakan dengan makhluk. Maka Manusia, hidup dan alam semesta adalah makhluk. Lalu siapakah yang menciptakan makhluk? Dia adalah sang Pencipta, Al Khalik.

Dalam menentukan keberadaan Pencipta ini akan kita dapati tiga kemungkinan.

Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain.

Kedua, Ia mencip­takan diriNya sendiri.

Ketiga, Ia bersifat azali-tidak berawal dan berakhir- dan wajibul wujud –wajib adanya.

Kemungkinan pertama bahwa Ia diciptakan oleh yang lain adalah kemungkinan yang bathil, tidak dapat diterima oleh akal. Sebab, bila benar demikian, tentulah Ia bersifat terbatas, ada yang menentukan awalnya.

Begitu pula dengan kemungkinan kedua, yang menyatakan bahwa Ia menciptakan diriNya sendiri. Sebab, bila demikian berarti Dia sebagai makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Suatu hal yang jelas-jelas tidak dapat diterima.

Yang tepat Al Khaliq ini haruslah bersifat azali dan wajibul wujud. Dan Islam menyebut Al Khalik ini dengan sebuah nama khusus yaitu Allah SWT.

Bukan Iman Yang Lemah


Sesungguhnya siapa saja yang mempunyai akal akan mampu membuktikan -

-hanya dengan adanya benda-benda yang dapat diinderanya-- bahwa di balik benda-benda itu pasti terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab, fakta menunjukkan bahwa semua benda itu bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan satu dengan lainnya. Hal ini menunjukkan segala sesuatu yang ada hanyalah makhluk . ( An Nabhani, Nidzamul Islam hal 4)

Oleh karena itu untuk membuktikan adanya Al Khaliq Yang Maha Penga­tur, sebenarnya cukup hanya dengan mengalihkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada di alam semesta, fenomena hidup (nyawa/biotik), dan diri manusia sendiri. Dengan mengamati salah satu planet yang ada di alam semesta, atau dengan merenungi fenomena hidup dan atau meneliti salah satu bagian dari diri manusia, tentulah akan kita dapati bukti nyata dan meyakinkan akan adanya Allah SWT.

Oleh karena itu dalam Al Qur`an, kita senantiasa menjumpai ajakan untuk mengalihkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada, seraya mengajaknya turut mengamati dan memfokuskan perhatian terhadap segala sesuatu yang ada di sekelilingnya atau yang berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab, dengan mengamati benda-benda tersebut, bagaimana satu dengan yang lainnya saling membutuhkan (dari segi keberadaan dan perkembangan kepada sesuatu), akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan dan pasti pada dirinya akan adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur. Dalam Al Qur`an telah dibeberkan ratusan ayat yang berkenaan dengan hal ini, antara lain firman-firman Allah SWT:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal" (QS Ali Imran: 190).

"(Dan) Di antara tanda-tanda kekuasaanNya adalah diciptakan­Nya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan warna kulitmu" (QS Ar Rum: 22).

"Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia dicipta­kan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagai­mana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?"

(QS Al Ghasyiyah: 17-20).

"Hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan? Dia diciptakan dari air memancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dengan tulang dada perempuan" (QS At Thariq: 5-7).

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Silih berganti­nya malam dan siang. Berlayarnya bahtera di laut yang membawa apa yang berguna bagi manusia. Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering). Dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan. Dan pengisaran air dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sesungguhnya (semua itu) terdapat tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan" (QS Al Baqarah: 164).

Banyak lagi ayat serupa lainnya, yang mengajak manusia untuk memperhatikan benda-benda alam dengan seksama, atau melihat apa yang ada di sekelilingnya, maupun yang berhubungan dengan keberadaan diri­nya. Ajakan itu adalah untuk dijadikan petunjuk akan adanya Pencipta yang Maha Pengatur, sehingga dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar pada akal dan bukti yang nyata.

Memang benar, bahwa iman kepada adanya Pencipta Yang Maha Pengatur ini merupakan hal yang fithri pada setiap manusia. Tapi ke­banyakan iman yang fithri ini muncul dari perasaan yang berasal dari hati nurani belaka. Cara seperti ini bila dibiarkan begitu saja, tanpa dikaitkan dengan akal, sangatlah riskan akibatnya serta tidak dapat dipertahankan lama. Dalam kenyataannya, perasaan tersebut sering menambah-nambah apa yang diimani, dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Bahkan ada yang mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang dianggap lumrah terhadap apa yang ia imani. Tanpa sadar, cara tersebut justru menjerumus­kannya ke arah kekufuran dan kesesatan.

Penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong) dan ajaran keba­thinan, tidak lain merupakan akibat salahnya reaksi dari perasaan hati ini. Oleh karena itu, Islam tidak membiarkan perasaan hati sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak menambah sifat-sifat Allah SWT dengan sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan; atau memberinya kesempatan untuk mengkhayalkan penjelmaanNya dalam bentuk materi; atau beranggapan bahwa untuk mendekatkan diri kepadaNya dapat ditempuh melalui penyembahan benda-benda, sehingga menjurus ke arah kekufuran, syirik, khurafat dan imajina­si yang keliru yang senantiasa ditolak oleh iman yang lurus.

Oleh karena itu Islam menegaskan agar senantiasa menggunakan akal disamping adanya perasaan hati. Islam mewajibkan atas setiap ummatnya untuk menggunakan akal dalam beriman kepada Allah SWT, serta melarang bertaqlid dalam masalah aqidah. Untuk itulah Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal" (QS Ali Imran 190).

Dengan demikian setiap muslim wajib menjadikan imannya betul-betul muncul dari proses berfikir, selalu meneliti dan memperhatikan serta senantiasa bertahkim (merujuk) kepada akalnya secara mutlaq dalam beri­man kepada Allah SWT.

"Ajakan untuk memperhatikan alam semesta dengan seksama, dalam rangka mencari sunatullah serta guna memperoleh petunjuk untuk beriman terhadap Penciptanya, telah disebut ratusan kali oleh Al Qur`an dalam berbagai surat yang berbeda. Semuanya ditujukan kepada potensi akal manusia untuk diajak berfikir dan merenung, sehingga imannya betul-betul muncul dari akal dan bukti yang nyata. Disamping untuk memperingatkannya agar tidak mengambil jalan yang telah ditempuh oleh nenek moyangnya, tanpa meneliti dan menguji kembali sejauh mana kebenarannya.

Inilah iman yang diserukan oleh Islam. Iman semacam ini bukanlah seperti yang dikatakan orang sebagai imannya orang-orang lemah, melainkan iman yang berlandaskan pemikiran yang cemerlang dan meyakinkan, yang senantiasa mengamati (alam sekitarnya), berpikir dan berpikir, kemudian lewat pengamatan dan perenungan­nya akan sampai kepada keyakinan tentang adanya Allah Yang Mahakuasa.

* * *

(Ibn khaldun; herynet@gmail.com)


Untuk lebih memperkaya pengetahuanmu tentang “Allah Tuhanku” silahkan baca :

  1. Peraturan Hidup Dalam Islam karya Syaikh Takiyudin An Nabhani
  2. Kitab At Tauhid, karya Ust Aceng Zakariya
  3. Dinamika Aqidah Islam karya Abdurrahman Al Baghdad
  4. Islam sebagai Aqidah dan Syariat" karya Mahmud Syalthout

No comments:

Post a Comment

Jazakumullah Atas Komentarnya.