27 Jan 2008

Kepribadian


Syakhsiyyah dalam bahasa Arab berasal dari kata Syakhsun (bahasa inggris = personality) yang diartikan pribadi atau orang, sehingga bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai kepribadian.
Syakhsiyyah secara bahasa menurut Dr.Ibrahim Anis ( 1972) yaitu shifatun tumayyizu al syakhsha min ghairihi [/I]( sifat atau karakter yang membedakan satu orang dengan orang lainnya). Sehingga Syakhsiyyah dalam arti umum bisa diartikan sebagai jatidiri atau identitas seseorang yang membedakannya dengan orang lain (Yusanto : 2002)

Setiap orang pastinya mempunyai identitas personal seperti nama, tempat dan tanggal lahir, kebangsaan, ras, bentuk fisik, warna kulit, raut wajah, pekerjaan, kekayaan, hobbi , dan lain sebagainya. Apakah identitas personal tersebut menunjukkan hakekat identitas seseorang atau esensi pribadinya? Apakah benar Identitas personal tersebut bisa membedakan satu orang dengan orang lain dan menentukan tinggi rendahnya kualitas pribadi seseorang?

Misalnya, apakah seorang laki-laki berwajah ganteng seperti Tora Sudiro otomatis lebih mulia daripada orang yang berwajah ‘agraris’ seperti Aming? Juga, apakah seorang wanita molek seperti Dian Sastro begitu saja dianggap lebih bermutu syakhsiyyahnya daripada wanita seperti Tika “Projek P’ Panggabean?

Apakah orang kaya seperti Bakrie dengan sendirinya lebih berkualitas dibanding Kang Endin yang Jualan Batagor di pinggir jalan?
Identitas di atas bukanlah Indikator hakiki yang menentukan tinggi rendahnya derajat atau kualitas kepribadian seseorang. Penampilan fisik atau raut wajah maupun kekayaan merupakan ‘kulit’ ( gusyuur) belaka. Kekayaan, penampilan fisik dan raut muka adalah identitas fisikal dan genetik yang telah diberikan oleh Allah swt (bersifat qadla’iy atau taken for granted) yang memang tidak bisa diubah dan ditolak manusia.
Alangkah malang sekiranya orang yang berkulit hitam didudukkan sebagai orang yang lebih rendah status dan kedudukkannya dibandingkan dengan orang yang berkulit putih. Tidak masuk akal dan sungguh tidak adil kiranya.
Warna kulit, raut muka, bentuk tubuh bukan usaha manusia (shifatun muktasabah), melainkan sifat fisik (shifatun khalqiyyah) yang tidak dapat dipilih atau ditolak manusia, karena memang termasuk dalam qadha’ (keputusan) Allah (Yusanto : 2004)

Berbagai identitas esensial sering membuat keliru dalam menilai kualitas syakhsiyyah atau kepribadian seseorang. Karena itu Islam sejak awal memberi peringatan agar kita tidak menggunakan tolok ukur yang keliru dalam menilai kemuliaan manusia.
Apakah mereka mengira bahwa kami memberi harta dan anak-anak kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami segera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka?(tidak), tetapi mereka tidak menyadarinya. (Qs. Al Mu’minun : 55-56)

Dan bukanlah harta atau anak-anakmu yang mendekatkan kamu kepada kami; melainkan orang-oramng yang beriman dan mengerjakan kebaikan, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda atas apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi ( dalam surga).(Qs. Saba : 37)

Ayat ayat diatas menginformasikan bahwasanya manusia kadang melakukan penilaian terhadap suatu aktivitasnya dengan menggunakan tolok ukur kekayaan dan kualitas anak-anaknya. Namun, ternyata penilaian mereka itu salah. Harta dan anak-anak keturunan tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk mendekatkan diri pada Allah Swt bahkan berharap mendapatkan penilaian yang baik Di sisiNya. Untuk menilai kemuliaan diri seseorang, tolok ukur yang tepat adalah dengan melihat tingkah laku sehari-hari dalam berbagai interaksi di tengah masyarakatnya. Apakah dalam kesehariannya mencirikan dirinya sebagai orang yang beriman dengan beramal soleh ataukah sebaliknya.

Kiranya tolok ukur yang benar untuk menilai kepribadian seseorang bukanlah dilihat dari kekayaan, raut muka, Genetik maupun tampilan fisik lainnya. Penilaian yang tepat adalah dengan menggunakan tolok ukur dari Pencipta Manusia, yaitu Penilaian Allah yang mengatakan bahwa Syaksiyyah seseorang itu mulia atau mempunyai kualitas yang tinggi adalah dengan melihat tingkah laku kesehariannya. Apakah tingkah lakunya itu berupa amal soleh yang pastinya diselimuti oleh pancaran keimanan kepada Sang Ilahi ataukah sebaliknya Wallahu a’lam.
( 22 Januari 2008)

Update terus tsaqafah keislamanmu tentang Syakhsiyyah ini dengan membaca “Membangun Kepribadian Islam” Karya M.Ismail Yusanto, et.al. Khairul Bayan, 2002.

(dimuat di percikaniman.org tgl
24-01-2008)

No comments:

Post a Comment

Jazakumullah Atas Komentarnya.