29 Sept 2007

ISLAM DAN LIBERALISME (1)

Judul di atas merupakan tema kajian dalam acara lesehan Hima Persis yang dilaksanakan tadi sore di aula PP.Persis. Bertindak selaku pengantar wacana, Lam-lam Pahala, pupuhu Pimpinan Pusat Hima langsung.
Peserta pada acara tersebut adalah internal Hima Persis serta ormawa yang concern dalam pergerakan islam serta anliberalis.
Hadir pada acara tersebut perwakilan dari semua lini organisasi, PK, PJM dan rengrengan PP hima Persis.
Dari PJM Hima Persis Bandung Raya, adalah Kang Hery selaku Ketua Umum, Mas Edy Mulyono dan Andri Hendrawan.
Seyogyanya sih pematerinya Kang Atif Latiful hayat. Namun, Karena ada halangan serta error communication, ga jadi deh.
Acara berlangsung dari pukul 16.30 sampai maghrib.

Islam dan Liberalisme, suatu judul yang kontroversial pastinya.
Islam pendekatannya adalah wahyu, sedang Liberalisme adalah ra'yu atau akal semata.
Secara historis, konsep Islam tentang kehidupan datang belakangan dari pada konsep liberalisme.
Islam hadir pada akhir abad pertengahan, sedangkan Liberalisme lahir pada awal abad pertengahan.

Sejarah LIBERALISME
Mengingat kehadiran Islam belakangan maka, marilah kita kaji dahulu konsep Liberalisme.
Pada awal abad pertengahan, kaum gerejawan semakin luas pengaruhnya hingga ke ranah pemerintahan. PAda saat itu power gereja sampai mengalahkan sang raja yang ada di Romawi.
Dengan menguatnya kekuasaan gereja ini, muncullah aturan-aturan yang sewenang-wenang.
Setiap permasalahan di hukumi oleh gereja dengan timbangan syurga atau neraka, dan
Masyarakat harus menerima aturan tersebut tanpa boleh bertanya atau melawan. Padahal, semua aturan-aturan yang dibuat oleh gereja itu, tidak ada satupun yang berasal dari Kitab Injil, mengingat dalam Injil tidak memuat aturan-aturan kehidupan. Yang ada hanya sekedar bacaan sakramen-sakramen pemujaan dan sejarah yang tyidak kronologis di sana.
KeDiktatoran gereja ternyata berimbas pula terhadap ranah ilmu pengetahuan dan saint. Pada saat itu muncul para ilmuwan di lingkungan gereja. namun, karena takut akan memudarnya kekuasaan dan pengaruh mereka, gereja malah mengkafirkan dan membidahkan para ilmuwan-ilmuwan ini.
Pada zaman ini, banyak para ilmuwan yang di bungkam untuk tidak menenlurkan hasil penelitian mereka bahkan gereja sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada para ilmuwan ini. Dikenalllah nanti abad ini sebagai Black Age atau abad kegelapan, karena akal tidak di hargai sama sekali bahkan di musuhi.
to be continue ....



SEJARAH KI HAJAR DEWANTARA

DAN PENDIDIKAN TAMANSISWA

A. TAMAN SISWA = KI HAJAR DEWANTARA

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu!”

(Soewardi Soerjaningrat,“Als Ik Eens Nederlander Was”, De Express, 1913).

Pendiri Taman Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).


Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.


Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit.

Sebelum terjun ke dunia pendidikan, Ki Hadjar Dewantara terkenal sebagai wartawan, penulis, politisi, dan budayawan. Ia sempat bekerja di Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara (1908 dst), aktif di Boedi Oetomo (1908 dst), Indische Partij (1912 dst), Sarasehan Malem Slasa Kliwon (1919 dst).

Indische Partij adalah partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia yang didirikan Suwardi bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemopada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.

Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.


Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.


Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga).
Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:


"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.


Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.


Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.

Sepulang dari Belanda tahun 1919, Ki Hadjar bersama teman-teman menyelenggarakan sarasehan di halaman rumahnya (sekarang Pendopo Tamansiswa), dikenal dengan Sarasehan Malem Slasa Kliwonan. Dari forum ini muncul gagasan pendidikan; selanjutnya Ki Hadjar ditunjuk menangani pendidikan anak dan kaum muda, sedangkan Ki Ageng Suryomentaram ditunjuk menangani pendidikan kaum dewasa.

Tepat pada tanggal 3 Juli 1922 bersama Soetatmo Soerjokoesoemo, Pronowidigdo, Soejopoetro, dkk, Ki Hadjar memproklamasi berdirinya Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa di Yogyakarta. Dari sini berkembanglah kemudian aneka satuan pendidikan di Tamansiswa; Taman Indriya (TK), Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA), Taman Karya Madya (SMK), Taman Guru (SPG), dan Sarjanawiyata (PT).

Pada tahun 1932 pemerintah kolonial Belanda melarang dijalankannya sekolah boemi putra karena dianggap berbahaya bagi eksistensi rezim kolonial. Belanda mengeluarkan kebijakan Onderwijs Ordonnantie (OO) atau Wilden Schoolen Ordonnantie (ordonansi sekolah liar), karena sekolah pribumi dianggap sekolah liar. Kebijakan ini dilawan oleh Tamansiswa dan Ki Hadjar dengan melontarkan jurus “gerakan diam” (lijdelijk verzet). Karena aksi Tamansiswa mendapat dukungan rakyat maka kebijakan OO pun akhirnya tumbang.

B. KONSEP PENDIDIKAN

“Tiap-tiap Orang djadi Guru; tiap-tiap Rumah djadi Perguruan!.”

Semboyan di atas, seperti diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, menganjurkan suatu gerakan mobilisasi untuk belajar bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Mobilisasi intelektuil yang dimaksud di sini adalah mengerahkan seluruh sumber daya manusia yang ada untuk memberi pengajaran kepada anak-anak bumiputera. Anjuran ini merupakan cita-cita pendiri perguruan Taman Siswa itu untuk memajukan pendidikan rakyat bumiputera di negeri kolonial Belanda. ( Karja Ki Hadjar Dewantara, bagian I, Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa ,1962)

Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.

Tamansiswa anti intelektualisme; artinya siapa pun tidak boleh hanya mengagungkan kecerdasan dengan mengabaikan faktor-faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas keseimbangan (balancing), yaitu antara intelektualitas di satu sisi dan personalitas di sisi yang lain. Maksudnya agar setiap anak didik itu berkembang kecerdasan dan kepribadiannya secara seimbang.

Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).

Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan Tamansiswa ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.

Kalau di Barat ada “Teori Domein” yang diciptakan oleh Benjamin S. Bloom yang terdiri dari kognitif, afektif dan psikomotorik maka di Tamansiswa ada “Konsep Tringa” yang terdiri dari ngerti (mengeta-hui), ngrasa (memahami) dan nglakoni (melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialah meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkat-kan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya.

Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan kepada anaknya.

Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya.

Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Tamansiswa menyelanggarakan kerja sama yang selaras antartiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti ini yang dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.

C. KONSEP KEBUDAYAAN

Konsepsi dasar Tamansiswa untuk mencapai cita-citanya adalah Kebudayaan, Kebangsaan, Pendidikan, Sistem Kemasyarakatan, dan Sistem Ekonomi Kerakyatan. Intinya ialah, bangsa ini tidak boleh kehilangan jati diri, menjaga keutuhan dalam berbangsa, menjalankan pendidikan yang baik untuk mencapai kemajuan, terjadinya harmonisasi sosial di dalam bermasyarakat, serta menghindari terjadinya kesenjangan ekonomi yang terlalu tajam antarwarga negara.

Kebudayaan nasional pada dasarnya merupakan puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan daerah yang ada di Indonesia. Kebudayaan nasio-nal bukanlah sesuatu yang statis akan tetapi bergerak dinamis sesuai dengan irama kemajuan jaman. Dalam konsep ini seluruh kebudayaan daerah dihargai sebagai aset kebudayaan nasional; di sisi yang lain adanya kemajuan kebudayaan sangat dimungkinkan, baik kebudayaan nasional maupun daerah.

Kebudayaan Tamansiswa mengembangkan “Konsep Trikon” yang ter-diri dari kontinuitas, konvergensitas, dan konsentrisitas. Maksudnya, hendaknya kita ini mampu melestarikan budaya adhi luhung para pendahulu dengan tetap memberikan ruang kepada budaya manca untuk saling berkolaborasi. Meski demikian dalam kolaborasi antara budaya kita dengan budaya manca tersebut hendaknya menghasilkan budaya baru yang lebih bermakna.

Kebudayaan Tamansiswa mengembangkan “Konsep Trisakti Jiwa” yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa. Adapun maksudnya adalah, untuk melaksanakan segala sesuatu maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil olah pikir, hasil olah rasa, serta motivasi yang kuat di dalam dirinya. Kalau untuk melaksanakan segala sesuatu itu hanya mengandalkan salah satu diantaranya saja maka kemungkinannya akan tidak berhasil.

Kebudayaan Tamansiswa mengembangkan “Konsep Trihayu” yang terdiri dari memayu hayuning sarira, memayu hayuning bangsa, dan memayu hayunin bawana. Maksudnya adalah, apa pun yang diperbuat oleh seseorang itu hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya. Kalau perbuatan seseorang hanya menguntungkan dirinya saja maka akan terjadi sesuatu yang sangat individualistik.

Untuk menjadi pemimpin di tingkat mana pun kebudayaan Tamansiswa mengajarkan “Konsep Trilogi Kepemimpinan” yang terdiri dari ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, serta tut wuri handa-yani. Maksudnya adalah, ketika berada di depan harus mampu menjadi teladan (contoh baik), ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangun semangat, serta ketika berada di belakang harus mampu mendorong orang-orang dan/atau pihak-pihak yang dipimpinnya.

Kebudayaan Tamansiswa mengembangkan “Konsep Tripantangan” yang terdiri dari pantang harta, praja, dan wanita. Adapun maksudnya adalah, kita dilarang menggunakan harta orang lain secara tidak benar (misal korupsi), menyalahgunakan jabatan (misal kolusi), dan bermain wanita (misal menyeleweng). Ketiga pantangan ini hendaknya tidak dilanggar.

D. CATATAN AKHIR

Suryadi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara wafat pada 26 April 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata, Yogyakarta. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, tanggal lahirnya, 2 Mei, kemudian dijadikan Hari Pendidikan Nasional di Indonesia dan juga mendapat panggilan Bapak Pendidikan Indonesia dan wajahnya bisa dilihat pada uang kertas pecahan Rp20.000. Nama beliau diabadikan pula pada salah satu nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara.

Perguruan Taman Siswa didirikan pada tahun 1922. Pada tahun 1930, tidak kurang dari 52 sekolah Taman Siswa dengan 6.500 murid di Jawa, Sumatera, Bali, dan Kalimantan. Delapan tahun kemudian Taman Siswa berkembang menjadi 225 sekolah dengan 700 guru dan 17.000 murid. Saat ini Perguruan Taman Siswa telah tersebar di seantero Nusantara.

Dalam Kongres Taman Siswa XIX di Yogyakarta tanggal 11-14 Desember 2006, terpilih Pimpinan Majelis Luhur Taman Siswa periode 2007-2011 yaitu Ki Tyasno Sudarto, Ketua Dewan Pengarah Forum Komunikasi Komunitas Taman Siswa (FKKT) Rebo Wagen.


KESIMPULAN

Dalam sejarah Indonesia, Ki Hajar Dewantara yang juga dikenal sebagai Suwardi Suryaningrat adalah pejuang yang bergerak memerdekakan bangsanya melalui pemajuan pendidikan dan pengajaran rakyat bumiputera. Perhatian terhadap persoalan pendidikan digelutinya selama masa pembuangan di negeri Belanda.

Setelah pulang ke Tanah Air, ia mendirikan perguruan Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang merupakan bentuk kritiknya atas sistem pendidikan kolonial. Berbeda dengan sistem kolonial, sistem pengajaran di Taman Siswa bertujuan meninggikan derajat rakyat terjajah dan membentuk jiwa kebangsaan Indonesia. Tujuan ini menjadikan gagasan-gagasan pendidikan Ki Hajar dan Taman Siswa khususnya sebagai bagian gerakan rakyat Hindia Belanda menentang kolonialisme.

Prinsip dasar dalam pendidikan Taman Siswa adalah:

1. Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan kita memberi contoh)

2. Ing Madya Mangun Karso (di tengah membangun prakarsa dan bekerja sama)

3. Tut Wuri Handayani (di belakang memberi daya-semangat dan dorongan).

Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.

Ketiga prinsip pendidikan ini sampai sekarang masih terus menjadi panduan dan pedoman dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Nama masing-masing tingkatan dalam sekolah Taman Siswa adalah:

DAFTAR PUSTAKA

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/k/ki-hajar-dewantara/index.shtml

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0511/19/pustaka/2221366.htm

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0607/03/opini/2776701.htm

http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Siswa

http://www.sekolahindonesia.com/sidev/profil/profilbaru.asp?iid_profil=55

http://www.lallement.com/sobron/serba12.htm

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/022007/22/99apasiapa.htm

http://www.polarhome.com/pipermail/nasional/2002-August/000010.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hajar_Dewantara

http://www.jugaguru.com/article/all/tahun/2007/bulan/07/tanggal/30/id/558/

Ki Supriyoko, Prof. Dr. 24 Agustus 2006. Makalah ”Membangun Karakter

Bangsa Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan. Depdiknas : Jakarta

- - - - - - -, 1998.Sejarah Aliran Pendidikan . CV.Armico :Bandung

Ayu Ratih .----, Reconsidering the Great Debate on Indonesian National Culture

in 1935– 1942.------------ : --------------------

SEJARAH KIHAJAR DEWANTARA DAN PERGURUAN TAMAN SISWA
Diajukan untuk memenuhi tugas akhir pada mata kuliah : Sejarah Pendidikan
Dosen : Yuti Risnawati,S.Pd
Disusun Oleh HERY HALDUN
0471025
tgl 29 Sept 07