2 Mar 2009

Fenomena Ponari di Kota Santri

Aneh tapi nyata. Jika kita melihat fenomena Ponari dan teman-temanya (konon mulai bermunculan banyak disekitarnya)


Masyarakat Indonesia dihebohkan dengan bocah cilik asal Jombang Jawa Timur, bernama Ponari yang tiba-tiba mendapat kemampuan untuk mengobati berbagai penyakit dengan sebuah batu yang dicelupkan ke dalam air minum. Akibat ekspos media massa yang luar biasa, dengan cepat puluhan ribu orang dari seluruh Indonesia memadati dusun tempat tinggal Ponari di Jombang. Sudah empat orang tewas terinjak-injak karena berdesak-desakan di gang sempit menuju rumah Ponari; kemarin , seorang bayi meninggal setelah meminum air sakti ponari.

Melihat sosok Ponari di layar tv ketika sedang mengobati sangatlah tidak sesuai dengan gambaran kesaktiannya. Cara mengobati Ponari hanyalah dengan cara digendong dengan tangan kanan memegang batu yang dicelupkan ke dalam air yang dibawa para pengantri. Lama celupan hanya dalam hitungan detik. Perhatian Ponari ketika menyembuhkan tidak seperti dokter yang serius memperhatikan pasien tetapi justru matanya asyik melihat layar HP yang dimainkannya dengan tangan kiri

Fenomena Ponari menimbulkan beberapa pertanyaan. Sudah sedemikian parahkah sakit yang diderita masyarakat di sekitar kita? Fenomena Ponari ini hanya gejala sakit masyarakat secara sosial. Sebuah akumulasi keputusasaan dari bertumpuknya beban hidup. Perwujudan dari masyarakat yang sakit itu adalah mulai berhalusinasi dengan percaya pada hal-hal yang diluar aturan agama, di luar akal sehat dan hanya ikut-ikutan.

Jumlah pasien Ponari yang sedemikian banyaknya, apakah belum tersentuh layanan kesehatan murah yang disediakan pemerintah yaitu Puskesmas atau layanan asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin? Bila beralasan tidak mampu tentunya sangat tidak masuk akal karena mereka datang dari berbagai kota yang tentunya memerlukan ongkos transportasi yang lebih besar dari ongkos ke Puskesmas. Kemungkinan lain adalah mereka para pasien yang sudah akut yang mendekati putus asa ketika mendengar kesaktian batu Ponari seperti mendapatkan pengharapan demi kesembuhan.

Saya bertambah prihatin masyarakat sekitar kita yang sakit ini menandakan negeri ini terlalu lama ribut di tingkat elit sehingga masyarakat pun terabaikan. Pembangunan yang ada hanya berorientasi fisik dengan melupakan aspek spiritual atau rohani. Jiwa masyarakat terlalu kering dan mudah putus asa. Sudah saatnya pembangunan rohani tetap mendapatkan perhatian supaya pesatnya perkembangan jaman tidak membuat bangsa ini semakin putus asa. Jangan pisahkan kebutuhan spiritual dengan kebutuhan fisik karena manusia terdiri dari jiwa dan raga. Inilah buah sekulerisme yang selama ini diterapkan dinegeri kita. Ingat! Negeri ini adalah negeri muslim bukan negeri sekuler. Jadi aturlah dengan aturan islam.

Apa yang dilakukan oleh Ponari sebenarnya tidak beda dengan praktek pengobatan alternatif lain. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Ustad Haryono di Bekasi melalui air minum dan minyak kelapa yang sudah diberi doa atau transfer penyakit ke tubuh hewan. Kunci penyembuhan dari pengobatan alternatif adalah karena faktor sugesti. Pasien percaya atau tidak dengan teknik penyembuhan seperti itu. Kalau yakin dan percaya, maka pada beberapa kasus penyakit memang berhasil disembuhkan, tapi kalau ragu-ragu atau kurang yakin biasanya memang sulit sembuh.

Beberapa kalangan menilai fenomena Ponari menunjukkan matinya logika. Masyarakat dinilai sudah tidak percaya kepada pengobatan modern yang lebih rasional. Bahkan, beberapa ulama dengan cepat menyatakan bahwa pengobatan ala Ponari itu tergolong perbuatan syirik, sebab orang lebih percaya kepada batu, bukan kepada Allah.

Menurut Prof HaryadiÙˆ fenomena pengobatan yang dilakukan Ponari tidak bisa hanya dianalisis dari sisi ilmiah. Semua orang seharusnya lebih bijaksana menghadapi fenomena Ponari ini, termasuk di dalamnya kemungkinan adanya kekuatan gaib pada diri Ponari yang tidak bisa dijelaskan dengan akal.

“Ini bukan sekadar ilmu logika. Harus diakui bahwa masyarakat yang berduyun-duyun ke praktik Ponari melihat hal ini dari sisi kegunaan, dari sisi aksiologinya saja. Mereka tak butuh penjelasan ilmiah, mereka hanya ingin sembuh,”

Menurut saya, kita memang harus hati-hati memberikan penilaian (syirik atau bukan) dan tidak cepat berburuk sangka. Ada dua kemungkinan skenario Tuhan tentang ini.

Skenario pertama, mungkin saja Ponari diberi anugerah kekuatan penyembuhan penyakit oleh Allah SWT. Hal seperti ini sudah sering kita dengar dibeberapa tempat bahwa ada orang yang tiba-tiba mendapat kekuatan atau ‘ilmu’ dari Tuhan sehingga dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Bagi Allah SWT, apapun yang tidak mungkin dalam pandangan manusia, bagi Dia mudah saja. Kun faya kun, jadilah maka terjadilah ia.

Skenario kedua, melalui Ponari dan batunya itu, Allah SWT ingin menguji iman ummat-Nya, sejauh mana akidah manusia berubah melalui pengobatan Ponari itu. Apakah manusia lebih percaya bahwa batu itu yang menyembuhkan penyakit atau tetap percaya bahwa Allah yang menyembuhkan sedangkan Ponari hanyalah perantara kesembuhan belaka. Jika meyakini batu atau Ponari itu yang menyembuhkan, jatuhlah ia keperbuatan syirik yaitu sikap mempersekutukan Tuhan, yang mana dosanya tidak bisa diampuni.

Saya lebih setuju Allah sedang menjalankan skenario kedua. Kita, manusia, sedang diuji keimanannya melalui fenomena Ponari dan batu ajaibnya.


* * *
[Ibnu Khaldun. Feb 09]
Mengapa Ada yang Golput ?


Bolehkah golput? kalo ternyata yang dipilih nggak yang layak-oke-bagus...


Saat ini ‘euforia’ pemilu 2009 sudah semakin terasa. Banyak partai bermunculan ditelevisi dan di jalan-jalan untuk memamerkan rayuannya dan dagangannya, termasuk partai yang berasaskan islam.

Di sisi lain, dalam beberapa diskusi yang diadakan di televisi dan survey yang dipublikasikan media massa serta publikasi hasil pilkada didapatkan fakta : rakyat semakin ‘enggan’ menyalurkan suara politiknya lewat partai-partai yang ada.

Berangkat dari realitas itu pula beberapa hari kebelakang MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya ‘golput’ dengan harapan tingkat partisipasi masyarakat di pemilu nanti akan ada peningkatan. Namun,

Pertanyaannya : Mengapa rakyat (sebagian) cenderung golput?

Pertanyaan ini penting dijawab. Sebab, sejatinya alternatif pilihan masyarakat saat ini adalah partai-partai Islam tetapi ternyata tidak.
Menurut Rahmat Kurnia (2008) Siapapun yang mengikuti dinamika masyarakat kekinian akan menemukan setidaknya ada empat (4) faktor penyebabnya yaitu :

1. Kegagalan partai dalam berfihak kepada masyarakat. Keinginan masyarakat pada partai yang benar-benar memperjuangkan aspirasi Islam sangat ditunggu-tunggu. Survey PPIM tahun 2001 menunjukkan prefernsi (pilihan) masyarakat terhadap syariah 61 %, tahun 2002 meningkat menjadi 71%, tahun 2003 meningkat menjadi 74%. Ternyata 5 tahun berikutnya, berdasarkan survey SEM Institute pada awal tahun 2008 meningkat secara tajam mencapai 83 %.

Namun, mengapa keinginan kuat terhadap syariah tidak berbanding lurus dengan dukungan masyarakat terhadap partai politik islam? Ternyata, penelitian Indo Barometer (2008) menunjukkan persepsi masyarakat bahwa tidak ada bedanya partai Islam dengan partai lain (43,3%), dan perilaku elite/pengurus dari partai islam sama dengan partai lain yang bukan dari partai islam (34,8%).

Wakil-wakil rakyat di DPR pada periode ini menunjukkan perilaku yang mirip dengan wakil rakyat dari partai sekuler. Pembelaan wakil rakyat terhadap kepentingan umat Islam tidak tampak. Justru sebaliknya, terbaca oleh masyarakat, partai-partai yang ada tak terkecuali partai Islam, hanya menjadikan parlemen sebagai ajang untuk mencari penghidupan dan berebut kue kekuasaan. Kalangan DPR, termasuk partai islam justru setuju dengan kenaikan harga BBM. Ketika rakyat teriak-teriak antri minyak tanah dan harga sembilan bahan pokok melambung, kebanyakan para wakil rakyat hanya diam.

2. Kegagalan pendidikan politik idiologis.
Hal ini adalah akibat politik pragmatisme yang menguasai kancah perpolitikan saat ini. Sikap ini merugikan umat islam dan partai islam. Pragmatisme akan mendegradasi tujuan dan cita-cita perjuangan islam. Siapapun tak dapat menyangkal, pragmatisme berarti harus merelakan diri menyesuaikan diri dengan keadaan/fakta; artinya melepaskan nilai-nilai dasar perjuangan dan idiologi partai yang telah digariskan. Karakter partai Islam akan luntur. Memang bisa berdalih, ini semeua masih dalam koridor Islam. Namun, dalih ini sebenarnya hanya pemanis mulut, bukan arus utama.

Proses pendidikan politik masyarakat mandeg. Apa yang dilihat oleh masyarakat hanyalah dagelan elit politik. Partai-partai hanya menyapa rakyat ketika akan Pemilu atau Pilkada. Kaderisasi, penanaman Islam sebagai way of life, dan pemikiran politik tidak tergarap. Sumberdaya hanya dikerahkan demi suara. Wajar belaka jika kesadaran politik rakyat tidak meningkat.

3. Pembusukan citra partai islam.
Tidak dipungkiri ada upaya untuk mencitraburukkan partai islam. Hal sederhana, masalah poligami dipolitisasi sedemikian rupa sehingga seakan akan pelakunya berbuat criminal. Belum lagi isu kekerasan terus dilekatkan pada gerakan/lembaga dan partai Islam. Untuk menghindari hal tersebut, bergeraklah partai islam untuk meninggalkan idiologi islam, citra islam, bahkan symbol-simbol islam. Alih-alih bersifat ofensif menawarkan islam sebagai solusi, justru sibuk cuci tangan terhadap pelekatan Islam pada dirinya. Sudah dapat ditebak, partai Islam pun tinggal sekedar nama.

4. Skandal politisi.
Sebagian anggota DPR dilanda skandal seks. Kasus suap dan gratifikasi yang begitu telanjang dilakukan anggota DPR. Tingkat kesadaran anggota DPR melaporkan gratifikasi hanya 1,9%. Main mata dalam setiap pembuatan undang-undang bukan rahasia lagi. Semua itu tidak hanya melibatkan partai sekuler. Partai yang menamakan dirinya Islam sekalipun ada yang terlibat di dalamnya. LSI menyebutkan di tahun 2008, kepuasan public terhadap pemerintah dalam 3 tahun terakhir turun, dan kepercayaan masyarakat terhadap DPR pun dibawah 50 %.

Last but not least, penyebab utamanya adalah system demokrasi itu sendiri. Dalam system demokrasi opini menjadi sangat penting. Orang harus terkenal untuk bisa memenangkan Pemilu. Uang pun digelontorkan untuk beriklan dimedia massa. Kampanyepun membutuhkan dana yang tidak sedikit. Darimana uangnya? Dari para anggota partai yang jadi pejabat, para pengusaha atau asing. Tidaklah mengherankan, anggota DPR makan suap, karena sebagian uangnya masuk kedalam kocek partai.

Begitu juga logis sekali main-mata dengan pengusaha dan asing hingga pembuatan UU selalu berfihak kepada mereka karena mereka dibiayai oleh para penguasa dan asing itu. Negara pun berubah dari nation state (Negara-bangsa) menjadi corporate state(Negara-perusahaan). Negara laksana sebuah perusahaan besar: para konglomerat sebagai pemilik modal: para pejabat menjadi pengelolanya; dan rakyat sebagai pihak pembeli yang diekspoitasi. Pilkada dan Pemilu pun tidak lebih dari suatu industri politik. Karenanya, mempertahankan sistem demokrasi sama dengan memelihara penyakit.

Melepaskan Pragmatisme

Kondisi sekarang semakin parah dengan adanya idiologi pragmatisme yang dipegang oleh partai-partai teramsuk partai Islam. Dalam situasi politik yang didominasi kepentingan sesaat seperti sekarang, bukan persoalan mudah untuk tidak tergiring dalam arus pragmatisme. Apalagi jika orang-orang yang menjadi anggota partai politik Islam tidak memiliki tameng diri yang kuat.

Namun, bukan berarti itu tidak bisa dihindari oleh partai-partai Islam. Caranya, partai-partai harus kembali mamahami asas perjuangannya yakni islam dan cita-cita islam itu sendiri bagaimana harus diterapkan. Partai islam harus lantang menolak UU yang lahir dari sekulerisme dan bertentangan dengan islam. Partai islam harus terus melakukan koreksi terhadap kebijakan keliru penguasa (Muhasabah hukkam). Para anggota partai Islam harus ingat betul mereka berjuang untuk islam sehingga mereka bergabung dengan partai Islam. Jangan sampai terbalik, dengan dalih Islam, mereka berebut mencari penghidupan dengan duduk menjadi wakil rakyat, setelah itu lupa tujuan pembentukan partai islam itu sendiri.

Karenanya, jika partai-partai islam ingin meraih dukungan yang signifikan, tidak ada jalan lain, mereka harus mendefinisikan dirinya kembali sebagai partai Islam sesungguhnya bukan sekedar nama belaka. Posisi abu-abu yang selama ini mendominasi harus segera disingkirkan. Jatidiri sebagai partai islam sejati harus ditunjukkan. Tegas menyatakan yang benar sebagai benar dan salah sebagai salah. Jadikan parlemen sebagai mimbar dakwah. Konsekuensinya berbagai hal yang bertentangan dengan syariah Islam akan ditentangnya.

Kini saatnya partai-partai islam meniti jalan Islam yang sesungguhnya, sesuai khittahnya sebagai partai pembawa suara islam (Shaut al- Islam), bukan sekedar basa-basi.

* * *

[Ibnu Khaldun Aljabari, 3/2/2009]