7 Oct 2008

Setelah Ramadhan



Belum lama berlalu, kaum muslimin berada dalam bulan yang penuh barakah. Bulan yang kaum muslimin berpuasa di siang harinya dan bertaraweh pada malam harinya. Bulan yang kaum muslimin isi dengan amal-amalan ketaatan.


Kini, bulan itu telah meninggalkan kita. Ia akan menjadi saksi dihadapan Allah swt atas segala yang telah kita perbuat pada bulan tersebut. Segala perbuatan, baik yang berupa amal ketaatan maupun kemaksiatan yang telah dilakukan. Naka sudah tidak tersisa dari bulan tersebut kecuali catatan amal yang akan diperlihatkan kepada kita pada hari akhir nanti. Firman Allah swt :


Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya. (QS. Ali Imran : 30)


Ibarat sesorang pedagang yang telah selesai melakukan perniagaan, maka ia tentunya akan menghitung, berapa keuntungan atau kerugian yang ia dapatkan. Begitu pula kiranya yang harus dilakukan oleh kaum muslimin, orang-orang yang beriman kepada hari akhir selepas bulan Ramadhan.


Allah swt telah berjanji akan mengampuni dosa-dosa yang telah lalu dengan berpuasa dan sholat taraweh karena iman dan mengharapkan ganjaran darinya. Dan pada bulan tersebut, Allah swt bebaskan orang-orang yang berhak untuk disiksa sehungga ia bebas darinya. Yaitu bagi mereka yang bertaubat kepadanya dengan taubat yang sebenar-benarnya.

Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi kaum yang berfikir bermuhasabah terhadap dirinya; sudahkah bulan tersebut dijadikan saat untuk bertaubat kepada-Nya? Ataukah kemaksiatan masih berlanjut pada bulan yang penuh ampunan tersebut? Jika demikian halnya ia terancam dengan sabda Rasululah saw :


“Dan rugilah orang yang bertemu dengan bulan Ramadhan namun belum mendapatkan ampunan ketika berpisah dengannya.”(HR. Ahmad dan At-Tirmidzi beliau mengatakan hadits hasan gharib)


Namun, bukan berate sudah tidak ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Karena ampunan-Nya tidaklah di bulan Ramadhan saja. Bahkan selama ajal belum sampai ke tenggorokan, kesempatan bertaubat masih terbuka lebar. Meskipun bukan beraarti seseorang boleh menunda-nundanya. Semestinyalah ia segera melakukannya. Karena kematian bisa datang dengan tiba- tiba dalam waktu yang tidak disangka-sangka. Dan seandainya seseorang mengetahui kapan waktu kematiannya, maka haruslah difahami pula bahwa taubat adalah pertolongan dan taufiq dari Allah swt. Sehingga tidak bisa seseorang memastikan dirinya akan mampu bertaubat sebelum ajal menjalaninya.


Seperti Abu Thalib, paman Nabi saw. Ia tidak bisa bertaubat di akhir hayatnya, padahal yang mengingatkannya adalah manusia terbaik di seluruh dunia yaitu Muhammad saw. Oleh karenanya bersegeralah senantiasa bertaubat atas segala dosa yang telah dilakukan sehingga kita dibersihkan kembali oleh-Nya. Firman Allah swt :


Sesungguhnya Taubat di sisi Allah hanyalah Taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang Kemudian mereka bertaubat dengan segera, Maka mereka Itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah Taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang". dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. bagi orang-orang itu Telah kami sediakan siksa yang pedih. (QS.An-Nisa : 17-18)


Adapun yang telah memanfaatkan Ramadhan dengan amal sholeh, sudah selaknyalah bersyukur kepada Allah swt dan bermohon diberikan keistiqamahan untuk melanggengkan amalan tersebut. Dan, tidak selayaknyalah kita berbangga diri atas banyaknya amalan yang telah kita lakukan bahkan merasa sebagai orang yang paling hebat. Karena kita tidak mengetahui apakah amal sholeh kita itu diterima ataukah tidak oleh Allah swt. Selain itu, tidaklah kita mampu menunaikan ibadah ketaatan kepada-Nya kecuali atas pertolongan dari-Nya.

Bahkan, apabila kita menghitung segala rahmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita dan merasa cukup dengan amalan-amalan kebaikan yang telah dilakukan, sungguh tidaklah setara. Selayaknyalah sebagai seorang abid berlaku tawadlu dan tidak merasa paling baik. Karena itulah sifat-sifat seorang yang beriman, yaitu ia dengan sungguh-sungguh beribadah kepada-Nya namun senantiasa merasa takut kepada Allah swt akan kekurangan dirinya dalam beramal. Firman Allah Swt :


Dan orang-orang yang memberikan apa yang Telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, (QS. Al-Mu’minun : 60)


Saudaraku yang semoga dirahmati Allah swt, ketahuilah bahwa Allah swt yang kita ibadahi di bulan Ramadhan adalah yang kita ibadahi pula di luar bulan tersebut. Begitu pula rahmatnya tidaklah terputus dan berhenti dengan berlalunya bulan Ramadhan. Maka, doa yang senantiasa dipanjatkan kepada-Nya di bulan Ramadhan janganlah kita tinggalkan selepasnya. Begitu pula , tilawah al-Qur’an yang senantiasa kita lakukan pada bulan Ramadhan, janganlah kita tinggalkan setelah berlalunya bulan tersebut. Bahkan ibadah puasa pun semestinya kita lakukan meskipun diluar bulan tersebut. Karena masih banyak puasa-puasa sunnah yang memiliki keutamaan yang besar bagi orang yang melaksanakannya. Begitu juga dengan sholat malam, adalah amalan yang harus kita pertahankan, meskipun hanya mampu beberapa rakaat saja. Terjaganya shalat malam adalah salah satu sifat wali-wali Allah swt. Sebagaimana firmannya:


Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang kami berikan. (QS.As-Sajdah : 16)


Juga, bersemangatlah menjadi bagian pengemban dakwah, menyeru manusia untuk kembali kepada Islam, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah perkara yang munkar, karena jalan itulah yang akan menjadikan kita sebagai orang yang diberikan keberuntungan oleh-Nya. Sebagaimana firmannya :


Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS.Ali Imran : 104).


Terakhir, semoga amalan kita diterima Allah swt dan diberikan kekuatan untuk melanggengkan dan meningkatkannya di bulan-bulan yang akan datang . Dan mudah-mudahan Allah swt mengampuni segala kesalahan kita. [ ]


[Ibnu Khaldun Aljabari, Syawal,5, 1429 H]

Zakat dalam Islam


Niat baik ternyata tidak selalu berbuah kebaikan ketika diamalkan tanpa manajamen yang tangguh. Peristiwa Pasuruan (15/9), berkenaan dengan pembagian ‘zakat mal’ oleh keluarga H.Syaikhon kiranya menjadi gambaran atas hal tersebut. Dengan argumentasi, pembagian zakat merupakan aktifitas rutin keluarga yang telah dilakukan sejak lama dan selama ini tidak mendatangkan kendala berarti, keluarga ini mencukupkan diri mengelola pembagian zakat sendiri, mengandalkan keluarga dan pembantu-pembantu tanpa mengikutsertakan pihak keamanan.
Namun, informasi pembagian uang zakat itu ternyata telah tersiar luas. Masyarakat yang dulunya puluhan dan berasal dari daerah sekitar, sekarang telah bertambah mencapai ribuan termasuk penduduk di luar daerah. Imbasnya, hari ahad kemarin (15/6) dari ribuan orang yang mengantri zakat, 21 orang harus meninggal dunia akibat pingsan dan terinjak-injak saat mengantri. Innalillahi.

Perbincangan yang diangkat media selain tentang peristiwa meninggalnya rakyat miskin yang mengantri tersebut, adalah dengan diangkatnya zakat sebagai bahan pembahasan media. Diinformasikan oleh media massa dan elektronik, pembagian harta ini ada yang mengunakan zakat dan adapula yang menggunakan shadaqah. Bagaimana korelasi dua kata ini, dan bagaimana hukum serta kedudukan zakat dalam Islam, berikut uraiannya.

Az-Zakat Vs al-Shadaqah ?

Az-zakat adalah bentuk mashdar dari zaka, berarti namam wa zada wa shaluha ( tumbuh, bertambah, dan mengadakan perbaikan). Jadi pengertian al-zakat ialah berkah, tumbuh, bersih, dan baik. (al-Mu’jam al-Wasit, I : 398)

Adapun, secara istilah az-zakat didefinisikan sebagai Bagian dari sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah swt untuk dikeluarkan kepada para mustahiq dan untuk membersihkan diri. Jadi pertumbuhan, kebersihan, dan kesucian bukan hanya pada harta, melainkan juga pada jiwa muzakki. Allah berfirman :
        

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. ( Qs. Al-Taubah : 103. ).

Menurut al-Azhari, zakat dapat menumbuhkan materi dan jiwa orang-orang yang fakir. Dengan demikian, zakat bukan untuk mempertahankan kefakiran dan kemiskinan.

Zakat menurut syara dalam bahasa al-qur’an dan as-sunnah digunakan juga kata shadaqah sehingga al-Mawardi mengatakan : Shadaqah itu zakat dan zakat itu shadaqah, berbeda nama-nama yang diberi nama (al-Ahkam al-Sultaniah bab II : “Wilayah al-shadaqat)

Shadaqah dalam arti zakat dapat dilihat antara lain dalam ayat-ayat berikut :
 •               
Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. (Qs.al-Taubah : 58)

                         
Sesungguhnya al-shadaqat (zakat-zakat itu), hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs.al-Taubah : 60)


Kata shadaqah berasal dari shidqun (benar, jujur) dalam keimanan dan al-tashdiq (pembenaran) pada hari akhir. Karena itu Rasulullah saw bersabda : “Shadaqah itu adalah dalil nyata (keimanan).” (HR.Muslim).
kata al-zakat dalam al-qur’an berulang sebanyak 30 kali, 27 kali disebut seiring setelah menyebutkan kata-kata salat dalam satu ayat, dan pada satu tempat dalam konteks kalimat meskipun tidak dalam satu ayat, seperti pada QS al-Mu’minun : 2,4.
Dari 30 ayat tersebut, 8 ayat dalam surat Makkiah dan 22 ayat dalam surat Madaniah (Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam al-Mu’jam al-Mufahras li alfazh al-Qur’an al-Karim). Kata al-shadaqat (jamak) dalam al-qur’an disebut 12 kali; semuanya adalah surat Madaniah.

Kewajiban Zakat dan Kedudukan dalam Islam

1. Dalam bentuk perintah yang jelas (sharih) :

   •           •     
Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Baqarah : 110)


2. Surat at-Taubah sebagai contoh ayat Al-Qur’an yang termasuk al-Madani tentang perhatiannya terhadap zakat :

a. Perintah untuk memerangi kaum musyrikin, diikuti tiga syarat tidak memerangi
mereka.

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS. Al-Taubah : 5)

b. Setelah enam ayat dalam surat itu, Allah juga berfirman mengenai kaum musyrikin:

Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang Mengetahui. (TQS. Al-Taubah : 11)

c. Kewajiban zakat disebut dalam konteks para pemakmur masjid:

Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (TQS. Al-Taubah : 18)

d. Allah memberikan ancaman keras kepada penghimpun emas dan perak yang tidak menunaikan kewajibannya kepada Allah
:
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, Lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (TQS. Al-Taubah : 34-35)

Demikian kiranya bahasan tentang zakat dan kedudukannya dalam islam secara singkat. Semoga memberikan tambahan tsaqafah buat ikhwatuiman sekalian. []


[Ibnu Khaldun Aljabari, 17 Ramadhan 1429 H]
Tujuh Kata yang Dihapus Nabi


Dalam sejarah Islam dikenal apa yang dinamai dengan "Shulh Al-Hudaibiah", yaitu Perjanjian Perdamaian yang disepakati pada tahun ke enam Hijri. Perjanjian ini merupakan perjanjian antara Nabi Muhammad saw dengan Suhail bin Amr yang ketika itu mewakili mayoritas penduduk Makkah yang masih musyrik. Perjanjian ini dinilai oleh banyak sahabat Nabi sangat menguntungkan lawan, walaupun banyak pakar Al-Qur'an yang kemudian menilai bahwa Allah SWT menamainya fath mubiin (kemenangan yang sangat jelas bagi kaum muslim). --"Sesungguhnya kami telah memenangkan engkau dengan kemenangan yang nyata" [ QS- Al Fat-h; 48:1 ]--
"Siapa yang mendatangi Muhammad (untuk memeluk agama Islam) maka ia harus dikembalikan, tetapi yang meninggalkannya menuju Makkah tidak dapat dikembalikan."
Demikian salah satu butir perjanjian yang sulit dipahami oleh kebanyakan sahabat Nabi. Mengapa perjanjian itu disetujui Nabi? Namun demikian, reaksi yang ditimbulkannya belum seberapa dibandingkan dengan penghapusan tujuh kata yang dilakukan oleh Nabi ketika merumuskan naskah perjanjian tersebut.
" Tulislah wahai Ali, Bismillaahirahmaanirrahiim."
Ali r.a. pun menulis, tetapi dengan serta merta Suhail keberatan: "Kami tidak mengenal Al-Rahman, hapuslah kata itu dan tulislah 'dengan namamu wahai Tuhan'," Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam menyetujui dan memerintahkan menghapus basmalah sambil melanjutkan: "Inilah perjanjian perdamaian antara Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin Amr."
"Tidak, tidak! Kalau kami mengakuimu sebagai pesuruh Allah, niscaya kami tidak memerangimu. Hapus itu, dan tulislah 'Muhammad putra Abdullah',"Sekali lagi Rasulullah menyetujui sambil berkata: "Demi Tuhan, aku adalah pesuruh Allah walau kalian mengingkarinya, hapuslah kata tersebut wahai Ali!"Ali r.a. tampak ragu, sementara para sahabat yang lain menggerutu. Umar bin Kaththab berkata: "Mengapa kita harus menerima kehinaan bagi agama kita?""Tenanglah wahai Umar. Aku ini pesuruh Allah."
Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam lalu mengambil naskah rancangan perjanjian tersebut dan menghapusnya dengan tangannya sendiri kata-kata
"Muhammad Rasul Allah".Demikianlah tujuh kata, yaitu Bismi, Allah, Al-Rahmaan, Al-Rahiim, Muhammad, Rasul, dan Allah, dihapus oleh Nabi.

Betapa luwes dan sabarnya sikap beliau menghadapi kaum musyrik demi perdamaian. Beliau sadar bahwa mereka sebenarnya tidak mengerti atau tidak mau mengerti.
Tetapi, setelah diskusi ilmiah mereka samakan dengan perdebatan, keluwesan mereka nilai kelemahan, perjanjian yang telah disetujui mereka langgar, ketika itulah tidak ada jalan lain kecuali ketegasan, walaupun itu masih harus selalu diliputi oleh rahmat dan kasih sayang.Ketika memasuki kota Makkah sebagai sanksi atas pelanggaran perjanjian
tersebut, beliau mengingatkan untuk tidak menumpahkan darah. Dikecamnya sahabat-sahabatnya yang bermaksud menjadikan hari tersebut sebagai hari pembalasan.
"Tidak!" kata beliau, "ini adalah hari kasih sayang." Adapun 'semboyan' yang disetujuinya adalah: "Akhun kariim wa ibnu akhn kariim" (saudara sebangsa yang mulia dan putra saudara sebangsa yang mulia).
Sungguh agung manusia ini. Alangkah wajar kita meneladaninya.
* * *

[ Ditulis oleh M. Qurais Syihab dalam Lentera Hati, Posted by Ibnu Khaldun]

TENTANG 10 HARI TERAKHIR DI BULAN RAMADHAN


"Bila masuk sepuluh (hari terakhir bulan Ramadhan Rasulullah saw mengencangkan kainnya menjauhkan diri dari menggauli istrinya), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya ." [HR.Bukhari dari Aisyah radhiallahu 'anha]

Rasulullah saw mengkhususkan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dengan amalan-amalan yang tidak beliau lakukan pada bulan-bulan yang lain, di antaranya:

Menghidupkan malam: Ini mengandung kemungkinan bahwa beliau menghidupkan seluruh malamnya, dan kemungkinan pula beliau menghidupkan sebagian besar daripadanya. Dalam Shahih Muslim dari Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata:

"Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam shalat malam hingga pagi. "

Diriwayatkan dalam hadits marfu' dari Abu Ja'far Muhammad bin Ali :

"Barangsiapa mendapati Ramadhan dalam keadaan sehat dan sebagai orang muslim, lalu puasa pada siang harinya dan melakukan shalat pada sebagian malamnya, juga menundukkan pandangannya, menjaga kemaluan, lisan dan tangannya, serta menjaga shalatnya secara berjamaah dan bersegera berangkat untuk shalat Jum'at; sungguh ia telah puasa sebulan (penuh), menerima pahala yang sempurna, mendapatkan Lailatul Qadar serta beruntung dengan hadiah dari Tuhan Yang Mahasuci dan Maha tinggi. " Abu Ja 'far berkata: Hadiah yang tidak serupa dengan hadiah-hadiah para penguasa. (HR. Ibnu Abid-Dunya).

Rasulullah saw membangunkan keluarganya untuk shalat pada malam-malam sepuluh hari terakhir, sedang pada malam-malam yang lain tidak.

Dalam hadits Abu Dzar radhiallahu 'anhu disebutkan:

"Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam melakukan shalat bersama mereka (para sahabat) pada malam dua puluh tiga (23), dua puluh lima (25), dan dua puluh tujuh (27) dan disebutkan bahwasanya beliau mengajak (shalat) keluarga dan isteri-isterinya pada malam dua puluh tujuh (27) saja. "

Ini menunjukkan bahwa beliau sangat menekankan dalam membangunkan mereka pada malam-malam yang diharapkan turun Lailatul Qadar di dalamnya.

At-Thabarani meriwayatkan dari Ali radhiallahu 'anhu :

"Bahwasanya Rasulullah saw membangunkan keluarganya pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan, dan setiap anak kecil maupun orang tua yang mampu melakukan shalat. "

Dan dalam hadits shahih diriwayatkan :

"Bahwasanya Rasulullah saw mengetuk (pintu) Fathimah dan Ali radhiallahu 'anhuma pada suatu malam seraya berkata:

Tidakkah kalian bangun lalu mendirikan shalat ?" (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Beliau juga membangunkan Aisyah radhiallahu 'anha pada malam hari, bila telah selesai dari tahajudnya dan ingin melakukan (shalat) witir.

Dan diriwayatkan adanya targhib (dorongan) agar salah seorang suami-isteri membangunkan yang lain untuk melakukan shalat, serta memercikkan air di wajahnya bila tidak bangun). (Hadits riwayat Abu Daud dan lainnya, dengan sanad shahih.)

Dalam kitab Al-Muwaththa' disebutkan dengan sanad shahih, bahwasanya Umar radhiallahu 'anhu melakukan shalat malam seperti yang dikehendaki Allah, sehingga apabila sampai pada pertengahan malam, ia membangunkan keluarganya untuk shalat dan mengatakan kepada mereka: "Shalat! shalat!" Kemudian membaca ayat ini :

"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. " (Thaha: 132).

Bahwasanya Nabi saw mengencangkan kainnya. Maksudnya beliau menjauhkan diri dari menggauli isteri-isterinya. Diriwayatkan bahwasanya beliau tidak kembali ke tempat tidurnya sehingga bulan Ramadhan berlalu.

Dalam hadits Anas radhiallahu 'anhu disebutkan :

"Dan beliau melipat tempat tidurnya dan menjauhi isteri-isterinya (tidak menggauli mereka).

Rasulullah saw beri'tikaf pada malam sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Orang yang beri'tikaf tidak diperkenankan mendekati (menggauli) isterinya berdasarkan dalil dari nash serta ijma'. Dan "mengencangkan kain" ditafsirkan dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah.

Mengakhirkan berbuka hingga waktu sahur.

Diriwayatkan dari Aisyah dan Anas uadhiallahu 'anhuma, bahwasanya Rasulullah saw pada malam-malam sepuluh (akhir bulan Ramadhan) menjadikan makan malam (berbuka)nya pada waktu sahur.Dalam hadits marfu' dari Abu Sa'id radhiallahu 'anhu, ia berkata :

"Janganlah kalian menyambung (puasa). Jika salah seorang dari kamu ingin menyambung (puasanya) maka hendaknya ia menyambung hingga waktu sahur (saja). " Mereka bertanya: "Sesungguhnya engkau menyambungnya wahai Rasulullah ? "Beliau menjawab: "Sesungguhnya aku tidak seperti kalian. Sesungguhnya pada malam hari ada yang memberiku makan dan minum. "(HR. Al-Bukhari)

Ini menunjukkan apa yang dibukakan Allah atas beliau dalam puasanya dan kesendiriannya dengan Tuhannya, oleh sebab munajat dan dzikirnya yang lahir dari kelembutan dan kesucian beliau. Karena itulah sehingga hatinya dipenuhi Al-Ma'ariful Ilahiyah (pengetahuan tentang Tuhan) dan Al-Minnatur Rabbaniyah (anugerah dari Tuhan) sehingga mengenyangkannya dan tak lagi memerlukan makan dan minum.

Mandi antara Maghrib dan Isya'.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Aisyah radhiallahu 'anha :

"Rasulullah saw jika bulan Ramadhan (seperti biasa) tidur dan bangun. Dan manakala memasuki sepuluh hari terakhir beliau mengencangkan kainnya dan menjauhkan diri dari (menggauli) isteri-isterinya, serta mandi antara Maghrib dan Isya."

Ibnu Jarir rahimahullah berkata, mereka menyukai mandi pada setiap malam dari malam-malam sepuluh hari terakhir. Di antara mereka ada yang mandi dan menggunakan wewangian pada malam-malam yang paling diharapkan turun Lailatul Qadar.

Karena itu, dianjurkan pada malam-malam yang diharapkan di dalamnya turun Lailatul Qadar untuk membersihkan diri, menggunakan wewangian dan berhias dengan mandi (sebelumnya), dan berpakaian bagus, seperti dianjurkannya hal tersebut pada waktu shalat Jum'at dan hari-hari raya.

Dan tidaklah sempurna berhias secara lahir tanpa dibarengi dengan berhias secara batin. Yakni dengan kembali (kepada Allah), taubat dan mensucikan diri dari dosa-dosa. Sungguh, berhias secara lahir sama sekali tidak berguna, jika ternyata batinnya rusak.

Allah tidak melihat kepada rupa dan tubuhmu, tetapi Dia melihat kepada hati dan amalmu. Karena itu, barangsiapa menghadap kepada Allah, hendaknya ia berhias secara lahiriah dengan pakaian, sedang batinnya dengan taqwa. Allah Ta'ala berfirman :

"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. " (Al-A'raaf: 26).

I'tikaf. Dalam Shahihain disebutkan, dari Aisyah radhiallahu 'anha :

Bahwasanya Nabi saw senantiasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, sehingga Allah mewafatkan beliau. "

Nabi saw melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir yang di dalamnya dicari Lailatul Qadar untuk menghentikan berbagai kesibukannya, mengosongkan pikirannya dan untuk mengasingkan diri demi bermunajat kepada Tuhannya, berdzikir dan berdo'a kepada-Nya.

Adapun makna dan hakikat i'tikaf adalah:

Memutuskan hubungan dengan segenap makhluk untuk menyambung penghambaan kepada AI-Khaliq. Mengasingkan diri yang disyari'atkan kepada umat ini yaitu dengan i'tikaf di dalam masjid-masjid, khususnya pada bulan Ramadhan, dan lebih khusus lagi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Sebagaimana yang telah dilakukan Nabi saw.

Orang yang beri'tikaf telah mengikat dirinya untuk taat kepada Allah, berdzikir dan berdo'a kepada-Nya, serta memutuskan dirinya dari segala hal yang menyibukkan diri dari pada-Nya. Ia beri'tikaf dengan hatinya kepada Tuhannya, dan dengan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada-Nya. Ia tidak memiliki keinginan lain kecuali Allah dan ridha-Nya. Semoga Alllah memberikan taufik dan inayah-Nya kepada kita.

* * *

[ posted by Ibnu Khaldun Aljabari , 19 Ramadhan 1429 H]

Referensi :

Larhaa'iful Ma'aarif, oleh Ibnu Rajab, him. 196-203)