28 Nov 2008

Memahami Kebangkitan Islam


Dua puluh tujuh tahun sudah kita memasuki abad XV Hijriyah, sebuah abad – yang sempat digembar-gemborkan – sebagai abad kebangkitan Islam. Seruan bahwa abad XV adalah abad kebangkitan Islam adalah bukti bahwa umat ini – umat Islam – merindukan atmosfer Islami dalam kehidupannya. Mereka rindu Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin – rahmat bagi alam semesta secara nyata, yaitu ditegakkannya aturan Allah dalam kehidupan mereka. Sehingga tidaklah mengherankan, jika umat Islam mengidolakan Osama ibn Laden, ketika berani menunjukkan penentangan terhadap Amerika Serikat. Atau kita pernah ingat dengan Saddam Hussein dalam Perang Teluk atau Moammar Qadhafi dalam Pemboman pesawat Pan Am. Atau ketika masa reformasi, naiknya Gus Dur menjadi presiden sebagai representasi berkuasanya umat Islam di negeri ini (Indonesia). Sekali lagi … berbagai fenomena tersebut menunjukkan rindunya umat Islam akan pemimpin-pemimpin muslim yang melindungi mereka.
Tapi seiring waktu berjalan, kerinduan umat Islam akan kehidupan yang Islami – yaitu kerinduan umat akan kebangkitan Islam – hanyalah kerinduan yang emosional. Mengapa demikian? Umat Islam secara umum – mungkin inilah budaya berfikir bangsa kita atau umat secara umum – tidak memahami bagaimana bentuk kebangkitan Islam yang mereka inginkan … atau mereka bahkan tidak memahami hakekat kebangkitan itu sendiri … dan dampak daripada ketidaktahuan tersebut adalah umat tidak mengetahui dengan cara apa kebangkitan Islam diraih.
Tulisan ini mencoba memaparkan makna kebangkitan dan gambaran kebangkitan dari sudut pandang Islam.

Makna Kebangkitan
Kebangkitan dalam bahasa Arab dinyatakan dengan kata an Nahdloh yang berasal dari kata nahadlo – yanhadlu – nahdlon – nahdlotan yang berarti berdiri atau bangkit. Jadi kata nahadlo – secara bahasa – tidak berbeda dengan kata qooma yang juga bermakna berdiri. Tetapi secara istilah, kata kebangkitan (an Nadhloh) memiliki makna kemajuan, yaitu sebuah pergerakan yang berawal dari suatu kondisi menuju kondisi yang lebih baik. Sehingga muncullah istilah-istilah baru seperti: kebangkitan ekonomi, kebangkitan intelektual begitupun dalam salah satu hari yang dikenang oleh orang Indonesia adalah Hari Kebangkitan Nasional.
Sekarang mari kita lihat contoh. Nokia – produsen handphone dari Finlandia – pada awalnya adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang pengelolaan hutan. Namun, karena dorongan untuk memperbaiki kondisi perusahaan, maka pemimpin perusahaan berusaha mencari peluang dan memutuskan agar Nokia berputar haluan dan memasuki dunia bisnis handphone – sebuah dunia bisnis yang sangat jauh hubungannya dengan dunia kehutanan. Hasilnya, Nokia menguasai penjualan handphone di dunia, kekayaannya berlipat ganda dibandingkan saat sebelumya. Sampai saat ini Nokia adalah produsen handphone yang paling inovatif … yang terakhir Nokia menghasilkan handphone dengan kemampuan internet dan kamera … handphone tercanggih saat ini. Sehingga tidak mengherankan, jika sebuah buku dibuat secara khusus untuk mendokumentasikan keberhasilan Nokia tersebut.
Contoh lain. Seorang siswa (atau mahasiswa), ketika mendapatkan nilai yang buruk dalam sebuah semester dan mendapatkan nilai yang spektakuler (sangat bagus, terbaik) di semester berikutnya, maka seringkali kita bertanya apa yang menjadi rahasia kesuksesannya? Jawabnya, dia mempelajari kesalahan masa lalu dan memperbaikinya.
Kedua contoh tersebut membuktikan bahwa untuk berubah tidaklah berarti kita harus menjadi orang lain secara fisik. Jika kita ingin kaya, maka kita operasi plastik seluruh tubuh kita mirip Bill Gates (pemimpin Microsoft). Tidak secara fisik kita berhasil. Kemajuan kita dari kondisi saat ini diawali oleh cara pikir kita, yaitu cara pandang kita terhadap kondisi kita sekarang, menemukan kondisi yang kita inginkan dan mempelajari cara untuk beralih dari kondisi yang buruk ke kondisi yang kita inginkan. Kita tetap kita secara fisik, tetapi cara berpikir kita lah yang berubah.
Kondisi umat Islam saat ini sangat jauh dari kemuliaan. Mereka memiliki wilayah luas, kekayaan alam melimpah dan penduduk yang besar, tetapi mereka miskin, kehidupan mereka sangat jauh dari gambaran Islam. Syeikh Sayyid Qutb dalam kitab beliau Ma’aalim fi at Thoriq (Petunjuk Jalan) pun menyatakan keheranan mengapa umat Islam ini tidak seperti generasi Sahabat ra. sebagaimana yang dikatakan oleh Allah dalam Al Qur'an bahwa umat Islam adalah umat terbaik:

كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله
Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi umat manusia, kalian menyuruh berbuat segala yang baik dan melarang segala yang buruk, dan kalian beriman kepada Allah. [QS Ali Imran:104]

Umat Islam saat ini mengalami kemunduran di segala aspek kehidupannya. Penduduk yang terbelakang (bodoh), hutang negara yang besar, kekacauan politik dan kerusuhan sosial dan semua hal buruk adalah merek bagi umat Islam saat ini.
Jadi kebangkitan yang paling mendasar adalah perubahan cara berpikir. Syeikh Taqiyyuddin an Nabhani dalam buku beliau Nidhom ul-Islam (Peraturan Hidup dalam Islam) menyatakan bahwa kebangkitan manusia – tidak bisa tidak – diawali oleh cara pandang manusia kepada alam sekitarnya (manusia, kehidupan dan alam semesta). Manusia tersebut memikirkan asal-usulnya, tujuan hidupnya dan tugas yang harus dijalankannya dalam kehidupan saat ini. Dengan demikian, kebangkitan yang paling mendasar bukanlah kebangkitan ekonomi atau kebangkitan teknologi atau kebangkitan lain-lain. Kebangkitan ekonomi dan lainnya adalah bentuk fisik dari sebuah kebangkitan yang hakiki, yaitu kebangkitan berpikir … karena dengan kebangkitan berpikirlah kemajuan-kemajuan dalam hal-hal fisik bisa diwujudkan.

Kebangkitan Individu
Seorang individu dinilai orang lain berdasarkan perilakunya, bukan hanya ucapannya semata. Seringkali orang mengucapkan sesuatu yang tidak dilakukannya. Islam pun mengajarkan untuk menilai orang lain berdasarkan perilakunya. Allah SWT berfirman:

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.” [TQS. Al Baqoroh: 204]

“Mereka mengucapkan dengan lisannya apa-apa yang bukan isi hatinya.” [TQS. Al Fath: 11]

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan. Sangat besar murka Allah pada kalian yang mengatakan sesuatu yang tidak kalian lakukan.” [TQS. As Shaf: 2]

“Dan katakanlah: Berbuatlah kalian, maka Allah, RasulNya, dan kaum mukminin akan melihat perbuatan kalian tersebut.” [TQS. At Taubah:105]

Oleh karena itu, perlu dikaji faktor yang melandasi seorang manusia melakukan suatu perbuatan.
Setiap manusia akan dihadapkan kepada dua pertanyaan ketika dia akan melakukan suatu perbuatan. Yang pertama: Apakah yang akan saya lakukan ? Yang kedua: Bolehkah perbuatan ini saya lakukan ? Jika orang tersebut merasa lapar, niscaya ia akan mencari (ini yang dilakukannya) segala sesuatu yang kiranya akan menghilangkan atau meringankan rasa laparnya. Jika kemudian dia dihadapkan pada banyak pilihan: roti bakar, sate kambing, steak babi, buah-buahan, maka dia akan bertanya: mana saja yang boleh dimakan dan mana yang tidak boleh ? Setelah menjawab pertanyaan ini, dia akan menjatuhkan pilihannya. Begitupun ketika seseorang dihadapkan kepada tuntutan kebutuhan biologisnya. Pemenuhannya: dia berzina atau menikah atau bahkan dia melacur. Pertanyaan pertama sama antara seseorang dengan orang yang lain, namun untuk pertanyaan kedua akan berbeda. Pertanyaan kedua dipengaruhi oleh pemahamannya yang dibangun atas suatu pandangan hidup tertentu.
Manusia, sebagaimana dijelaskan di atas, memiliki akal. Ketika beranjak dewasa, dirinya dihadapkan kepada tiga pertanyaan mendasar: darimana dia berasal, apa yang sedang dilakukannya dalam kehidupan saat ini, dan akan kemana dia setelah kehidupan ini. Inilah permasalahan mendasar (simpul terbesar, uqdatul kubro).
Atas ketiga pertanyaan tersebut, dengan akalnya manusia mengamati alam sekitarnya dan menyimpulkan ada Sang Pencipta Yang Maha Pengatur. Dia, Sang Pencipta, menciptakan makhluk hidup, memberikan potensi kehidupan, mengilhamkan tata cara pemenuhan potensi tersebut, dan memberikan petunjuk yang benar tentang tata cara pemenuhan potensi kehidupan tadi. Dengan akalnya, seorang muslim akan sampai pada kesimpulan, bahwa Allah adalah Al Khalik, Al Qur'an Kalamullah, dan Muhammad Rasulullah. Inilah bagian pokok aqidah Islam, yang darinya digali bagian-bagian aqidah yang lain, seperti: keimanan kepada sifat-sifat Allah yang Maha, keimanan adanya malaikat, nabi dan rasul sebelum Muhammad, kitabullah sebelum Al Qur'an, hari akhir, dan taqdir.
Dengan temuan tersebut, ketiga pertanyaan mendasar akan dijawab bahwa manusia adalah makhluk Allah, yang dalam kehidupan ini wajib menjalani kehidupan dengan aturan-aturan Allah, dan dirinya akan kembali kepada Allah dengan pertanggungjawaban atas setiap perbuatannya di kehidupan ini. Jadi, kehidupan dengan alam sebelumnya memiliki hubungan penciptaan (as Shilatul Kholq) dan kehidupan dengan alam sesudahnya memiliki hubungan pertanggungjawaban (as Shilatul Hisab).
Aktivitas hidup seorang muslim wajib dilandasi oleh aqidah Islamiyah. Dia wajib menjadikan aturan Allah sebagai rambu-rambu aktivitasnya. Dia senantiasa berusaha membangun pemahamannya dengan ma’lumat (informasi) tentang Islam. Semakin faham dia akan aturan Allah, maka semakin tinggilah perilakunya dan berarti dia memiliki taraf berfikir yang meningkat.

Kebangkitan Masyarakat
Masyarakat adalah kumpulan individu yang saling berinteraksi secara langgeng dan diatur oleh sebuah sistem tertentu. Interaksi yang langgeng ini hanya akan terjadi jika individu-individunya memiliki kesamaan perasaan dan pemikiran. Oleh karena itu, yang membedakan sebuah masyarakat dengan masyarakat yang lain adalah perasaan, pemikiran, dan sistem aturan yang ada didalamnya. Masyarakat yang ketiga hal tersebut dibangun atas asas kapitalisme, maka disebut sebagai masyarakat kapitalisme. Begitupun dengan masyarakat sosialisme dan Islam.
Tolok ukur rusak-tidaknya masyarakat, maju-mundurnya masyarakat, bangkit-merosotnya masyarakat, dinamis-mandegnya masyarakat serta bersatu-bercerainya masyarakat tergantung kepada kesesuaian antara sistem aturan dengan pemikiran dan perasaan umatnya, keterikatan umat terhadapnya, keyakinan umat akan kebenaran pemikiran dan sistem yang mengaturnya, dan kesadaran umat untuk melaksanakan pemikiran, perasaan, dan peraturan sistem tersebut. Ini berarti, jika sebuah masyarakat secara terpaksa menerima sebuah sistem, padahal sistem tersebut tidak diyakini dan tidak disadari kebenarannya, yaitu akibat digali dari bukan aqidahnya, maka masyarakat tersebut tidak akan mampu menjadi masyarakat yang bangkit, kokoh dan tahan lama.
Dengan kata lain, umat yang bangkit adalah umat yang perasaan, pemikiran dan sistem yang dianut dan digunakan untuk mengatur interaksi antara mereka dibangun berdasarkan aqidah mereka. Kebangkitan itu hanya akan terjadi, jika umat tersebut menerapkan aturan, pemikiran dan perasan yang terlahir dari aqidah yang diyakininya. Karena itu, umat Islam saat ini harus dikembalikan kepada aqidah Islamiyah yang kokoh dan produktif. Mereka harus dibawa kembali kepada kepercayaan bahwa aqidah Islam yang ada pada diri mereka, sebenarnya telah memiliki solusi-solusi kehidupan dalam bentuk syari’at yang adil, yang merupakan pemikiran-pemikiran yang terlahir dari aqidah Islam.

Jalan Menuju Kebangkitan
Syeikh Sayyid Qutb menggambarkan bahwa kebangkitan yang sesungguhnya adalah kebangkitan yang mencetak generasi seperti generasi sahabat ra. Ketika Rasulullah saw menemukan Umar ibn Khattab membawa lembaran Taurat, Beliau bersabda:

Demi Allah, seandainya Musa hidup saat ini bersama kalian, niscaya ia hanya diperbolehkan oleh Allah SWT untuk menjadi pengikutku [HR Abu Ya’la]

Dari hadits ini jelas bahwa Rasulullah menghendaki para sahabat bangkit hanya dengan satu sumber yang shohih, yaitu Al Qur'an, bukan dari sumber yang lain. Itu faktor pertama, faktor kedua adalah sikap sahabat yang dibina. Para sahabat memahami bahwa pembinaan oleh Rasulullah bukanlah sekedar untuk memuaskan nafsu akan pengetahuan belaka. Para sahabat mempelajari dengan sungguh-sungguh hukum Allah, karena mereka harus terikat dengannnya ketika melaksanakan aktivitas hidup dan nantinya mereka akan dihadapkan kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan aktivitas tersebut.
Kebangkitan yang hakiki adalah dengan meningkatnya taraf berfikir. Lalu, bagaimanakah jalan menuju kebangkitan tersebut?

1. Pilih kebangkitan yang benar. Pahami kebangkitan yang benar secara total dan sampaikan kepada umat. Kebangkitan yang benar adalah kebangkitan yang berdasarkan kepada Islam sebagai ideologi. Pahami Islam secara kaffah, kemudian sampaikan kepada umat dalam bentuk pembinaan dan pengkaderan. Umat dibina dengan aqidah Islam dan ide-ide yang terlahir dari aqidah tersebut, sehingga mereka meyakini betul dan menghubungkannya dengan fakta yang dihadapinya. Bila terjadi pertentangan antara ide dan fakta yang terjadi, niscaya akan timbul tuntutan untuk mengubah fakta sehingga sesuai dengan ide yang diyakininya. Atau akan terjadi benturan pemikiran. Oleh karena itu, pemahaman akan fakta dan pemecahan Islam terhadap fakta tersebut harus senantiasa dilakukan, sehingga masyarakat mampu menilai mana yang benar menurut Islam.

2. Munculnya kesadaran akan memunculkan tuntutan. Jika umat sudah bangkit, maka mereka akan menuntut agar setiap aktivitas mereka diatur dengan ideologi yang diyakininya. Dan ini akan membawa kepada kekuasaan. Namun kekuasaan bukanlah tujuan kebangkitan, tetapi ia hanyalah sebuah jalan untuk mewujudkan kebangkitan Islam, yaitu diterapkannya aturan-aturan Islam dalam kehidupan.
Wallahu a’lam bis showwab.

No comments:

Post a Comment

Jazakumullah Atas Komentarnya.